Pada jaman Kakek Merza dan orang tua kita terdahulu, perjanjian pranikah yang mengatur kehidupan setelah perkawinan merupakan sesuatu yang jarang dilakukan bahkan dianggap tabu, karena niat suci dari pernikahan itu adalah merajut hidup bersama pasangan hingga hari akhir menjelang.
Niat suci tersebut juga tersirat dan tersurat dalam Peraturan Perundangan Hukum Perkawinan Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 menyatakan bahwa, "Perkawinan adalah ikatan lahir batin diantara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu perikatan atau perjanjian yang juga terdapat sangat banyak di dalam hukum perdata pada umumnya. Perjanjian sendiri adalah suatu yang sangat penting dalam hukum, oleh karena setiap orang yang mengadakan perjanjian sejak semula mengharapkan supaya janji itu tidak diputus ditengah jalan.
Demikian juga dengan perkawinan haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Dalam akad nikah dan perjanjian perkawinan menjadi kesatuan ikrar pernikahan yang merupakan satu kesatuan telah mengatur hak dan kewajiban selama sepasang insan menjalani kehidupan rumah tangga dan keluarga mereka. Namun demikian, perjanjian pranikah untuk melengkapi janji nikah yang diikrarkan saat akad nikah tidak dilarang dalam peraturan hukum Indonesia.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur tentang syarat sah perjanjian, perlu dipenuhi empat unsur yakni:
- 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- 3. suatu pokok persoalan tertentu;
- 4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Ke empat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam: Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif); Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif). Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (unsur subjektif) dan batal demi hukum (unsur objektif).
Memperhatikan pasal 1320 KUHPerdata, maka dalam membuat perjanjian pranikah juga harus dipenuhi syarat sah perjanjian tersebut. Membuat perjanjian pisah harta tidak dilarang, walaupun sebenarnya sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur pewarisan bagi umat Islam. Dalam sebuah rumahtangga Islam, setiap orang punya hak sendiri-sendiri atas harta yang dimilikinya. Suami punya harta dan harta itu miliknya sepenuhnya. Isteri punya harta dan harta itu milik dirinya sepenuhnya. Demikian juga anak-anak, mereka punya harta dan harta itu milik diri mereka sendiri.
Dengan demikian, untuk perjanjian hal-hal lain dalam pernikahan tidak dilarang selama tidak bertentagan dengan pasal 1320 KUHPerdata. Selain perjanjian pisah harta, yang mengemuka dalam pernikahan saat ini adalah perjanjian nikah untuk waktu tertentu (kawin kontrak).
Kawin kontrak adalah perkawinan di mana seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dan dalam waktu tertentu, yang mana perkawinan akan berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan tanpa adanya talak serta tidak adanya kewajiban untuk memberi nafkah, tempat tinggal dan hak mewaris.
Objek dalam perjanjian kawin kontrak adalah perkawinan yang dibatasi waktu. Perkawinan yang dibatasi oleh waktu bukanlah merupakan suatu barang dan bisa diperdagangkan. Menurut Pasal 1332 KUHPerdata, bahwa sesuatu yang dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah berupa barang yang dapat diperdagangkan. Dengan demikian, perjanjian kawin kontrak secara jelas melanggar syarat objektif perjanjian yaitu suatu hal tertentu, di mana yang menjadi objek dari suatu perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan jenisnya.