Lihat ke Halaman Asli

Merza Gamal

TERVERIFIKASI

Pensiunan Gaul Banyak Acara

Gaya Hidup Minimalis antara Budaya Masyarakat Jepang dan Ajaran Rasulullah

Diperbarui: 13 Juli 2022   08:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image:  Gaya Hidup Minimalis antara Budaya Masyarakat Jepang dan Ajaran Rasulullah (File by Merza Gamal)

Sejak 10 Juli 2022, Redaksi Kompasiana menyodorkan Topik Pilihan "Gaya Hidup Minimalis, Sanggup?", banyak artikel terkait topik tersebut bermunculan. Sebagian besar menceritakan bagaimana pengalaman Kompasianer mengubah gaya hidup dari maksimalis menjadi minimalis.

Memang, tidak gampang untuk bergaya hidup minimalis di tengah-tengah masyarakat yang hedonis dan suka atau terlena dengan puja-puji. Akhirnya demi "gengsi" dan ingin mendapatkan puja-puji, banyak yang terseret dengan gaya hidup maksimalis dengan penghasilan minimalis.

Bangsa yang terkenal dengan budaya gaya hidup minimalis adalah Jepang, meskipun di era 2000'an sempat anak-anak muda Jepang sedikit berubah dari generasi penerusnya yang bergaya minimalis.  Jika sebelumnya, masyarakat Jepang dikenal dengan gaya busana yang minimalis, maka anak muda Jepang mulai berubah sejak adanya kiblat mode Shibuya yang dipenuhi oleh toko-toko fashion bergengsi nan mahal seperti Prada dan Dior.

Anak muda diluar Jepang pun tidak asing dengan Harajuku yang merujuk pada salah satu jalanan di Shibuya yang dipenuhi oleh pemuda berambut pirang dan rambut yang khas serta sempat menjadi trend mode dunia.

Namun, rupanya gaya hidup maksimalis yang sempat meracuni anak muda Jepang, mulai ditinggalkan dan mereka mulai kembali ke budaya asli mereka, yaitu bergaya hidup minimalis. Momen gaya hidup minimalis ini mendapat tempat setelah terbitnya buku "Goodbye, Things: The New Japanese Minimalism" karya Fumio Sasaki yang diterbitkan tahun 2015 dengan judul asli "Bukutachini, Mou Mono Wa Hitsuyou Nai".

Penulis buku tersebut, Fumio Sasaki tadinya seorang maksimalis. Di usia 35 tahun dan masih lajang, ia menempati sebuah apartemen di daerah Nakameguro, Tokyo sambil bekerja sebagai editor sebuah penerbitan. Apartemen itu sudah dihuninya selama 10 tahun. Apartemennya penuh barang yang tak selalu dipakai dan benda koleksi yang jadi kegemarannya. Meski pun memiliki begitu banyak barang, ia tak merasa bahagia. Ia merasa hampa. Apalagi setelah bertemu teman kuliah yang telah sukses: memiliki rumah dan mobil mewah, istri cantik dan bayi lucu.

Sasaki bergumam, "Saat di kampus dahulu, kami tidak jauh berbeda. Apa yang terjadi? Mengapa hidup kami bisa menjadi berbeda?" Membandingkan diri dengan orang yang memiliki lebih banyak barang membuatnya kesal. Apa hendak dikata, kita memang hidup di zaman dimana sukses ditentukan oleh barang atau materi yang dipunyai seseorang. Apakah itu rumah, mobil, tas, pakaian, sepatu, atau merek smartphone yang dipakai. Kondisi tersebut membuat kita ingin punya lebih banyak barang, bahkan sampai menumpuk hutang.

Image: Gaya hidup minimalis di zaman teknologi digital lebih mendukung dibdaning era sebelumnya (by Merza Gamal)

Pada akhirnya kita menghabiskan lebih banyak waktu dan energi untuk mengelola dan mempertahankan harta benda yang kita punyai. Kita berusaha mati-matian sampai akhirnya barang yang seharusnya memudahkan justru mengendalikan kita.

Kemudian, jalan hidup Fumio Sasaki berubah ketika ia memutuskan pindah ke apartemen yang lebih murah biaya sewanya. Setelah melakukan perenungan dan pindah apartemen, Sasaki berpikir ulang tujuan hidupnya, memutuskan apa yang membuatnya bahagia. Saat itulah ia menyingkirkan sebagian besar barang miliknya. Sasaki memahami minimalisme sebagai "gaya hidup yang berarti kita mengurangi jumlah barang yang kita miliki sampai tingkat paling minimum."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline