Inflasi ada di mana-mana dan dampaknya dirasakan di seluruh dunia. Bank Sentral Amerika bergerak melawan inflasi. Industri di Amerika berkembang sementara ekonomi China berkontraksi di tengah langkah-langkah Covid-19.
Gubernur BI Perry Warjiyo, saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada akhir Mei 2022 yang lalu, menyatakan bahwa Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di bulan Mei 2022 dengan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5%. BI sudah menahan suku bunga acuan di level 3,50% dalam 15 bulan terakhir hingga Mei 2022. Level tersebut adalah yang terendah sepanjang sejarah Indonesia. Sementara itu di berbagai negara, suku bunga acuan dinaikkan oleh Reserve Bank of India (menjadi 4,4%), Bank Sentral Brasil (menjadi 12,75%), dan Federal Reserve AS (menjadi 0,75-1,0%)
Gubernur Bank Indonesia juga menjelaskan bahwa penahanan suku bunga ini sejalan dengan berbagai assessment kondisi ekonomi global dan domestik. Menurut beliau, keputusan tersebut sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar, serta tetap mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi global sedang mengalami tekanan eksternal yang tinggi terkait dengan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina serta percepatan normalisasi kebijakan moneter di berbagai negara maju dan berkembang.
Dalam ringkasan eksekutif Intelijen Ekonomi Global (Global Economics Intelligence) Mei 2022 yang dikeluarkan oleh McKinsey dijelaskan bahwa Federal Reserve AS menaikkan suku bunga kebijakannya sebesar satu setengah poin dengan upaya mengurangi inflasi menuju target 2%. Bank sentral di India dan Brasil juga telah menaikkan suku bunga, dan Bank Sentral Eropa mengumumkan akan segera mengakhiri suku bunga negatif.
Inflasi harga konsumen, didorong oleh harga energi dan makanan yang tinggi, yakni 8,3% di Amerika Serikat dan rekor 8,1% di zona Euro. Di banyak negara, pasar perumahan juga menjadi faktor; di Amerika Serikat khususnya, harga perumahan melonjak selama tahun-tahun pandemi, didorong oleh suku bunga rendah dan pengeluaran stimulus yang tersedia.
Sementara itu di Indonesia, tercatat inflasi sebesar 0,95% (mount to mount). Secara tahunan, inflasi IHK (Indeks Harga Konsumen) April 2022 tercatat 3,47% (year on year), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya yang sebesar 2,64% (yoy). Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan peningkatan harga komoditas global, mobilitas masyarakat, dan pola musiman Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN).
Untuk menekan inflasi, pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM, LPG, dan tarif dasar listrik bagi kelompok tidak mampu. Pemerintah juga melakukan penambahan anggaran perlindungan sosial untuk memitigasi risiko kenaikan inflasi. Kebijakan tersebut setidaknya diharapkan akan menahan laju inflasi.
Di Eropa, penggerak inflasi utama adalah peningkatan harga energi sebesar 38% di bulan April dan 45% di bulan Maret. Inflasi zona euro, dikurangi kenaikan harga energi, adalah 3,8% di bulan April. Untuk mengatasi inflasi tersebut, pada pertemuan di Jerman, para menteri energi dari kelompok negara-negara G-7 mendesak OPEC dan semua negara penghasil minyak dan gas untuk menanggapi kekurangan pasokan. Para menteri juga menegaskan urgensi transisi ke energi terbarukan, menetapkan tujuan "sektor listrik yang sebagian besar terdekarbonisasi pada tahun 2035."
Pergeseran sikap bank sentral tampaknya memberikan kepercayaan baru bagi investor; pasar ekuitas yang terkepung sedikit pulih di paruh kedua Mei. Tetapi inflasi yang tinggi membebani permintaan konsumen. Indikator OECD mengungkapkan kepercayaan konsumen yang memburuk secara global dan di masing-masing negara yang disurvei. Data terakhir mengungkapkan bahwa penjualan ritel melambat secara luas, kecuali di Amerika Serikat; di China, konsumen menghabiskan jauh lebih sedikit di tengah langkah-langkah ketat zero Covid-19.
Perbaikan ekonomi dunia berlanjut namun berisiko lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, disertai dengan kenaikan inflasi serta percepatan normalisasi kebijakan moneter di berbagai negara. Volume perdagangan dunia berpotensi lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Kondisi tersebut sejalan dengan risiko tertahannya perbaikan perekonomian global dan masih berlangsungnya gangguan rantai pasokan global.