Lihat ke Halaman Asli

Merza Gamal

Pensiunan Gaul Banyak Acara

Bolehkah Memberikan Hampers Terkait Jabatan?

Diperbarui: 27 April 2022   12:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image by Merza Gamal

Pada setiap hari raya, sudah jamak orang saling menghantarkan hampers. Baik itu antar sesama saudara, atau rekan bisnis, atau pun terkait dengan jabatan seseorang.

Namun, apakah pemberian hampers di hari raya tersebut bisa dikatakan tulus ikhlas untuk memperkuat tali silahturahim persaudaraan? Pemberian hampers antar keluarga, mungkin masih bisa kita katakan tulus. Akan tetapi kalo, jika pemberian hampers tersebut terkait dengan bisnis atau pun koneksi, rasanya sulit untuk bisa dikatakan tulus tanpa kepentingan.

Nabi SAW memang menganjurkan memberi hadiah walaupun sedikit. Nabi bersabda SAW:

Wahai para wanita muslimah, janganlah seorang tetangga memandang rendah pemberian tetangganya, walaupun hanya kaki kambing. (HR . Bukhari).

Namun Nabi SAW juga melarang seseorang menerima hadiah terkait dengan jabatannya, seperti kisah berikut:

Suatu hari, Ibnu al-Lutaibah yang merupakan seorang petugas zakat datang menghadap Rasulullah SAW untuk melaporkan dan menyerahkan hasil penarikan zakat. Dia mengatakan, "Ini untukmu dan yang ini telah dihadiahkan kepadaku!"

Rasulullah SAW seketika tersentak mendengar laporan keuangan zakat dari amil Beliau yang berasal dari suku Uzdi tersebut. Dengan geram dan heran, Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar seraya mengatakan: "Ada apa gerangan seorang petugas yang kami utus untuk menjalankan suatu tugas lalu mengatakan: "Ini untukmu (Wahai Rasulullah) dan yang ini telah dihadiahkan untukku!" Mengapa ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu ia melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak?"

Lanjutnya, "Demi Tuhan yang jiwa kalian berada di tangan-Nya, bahwa tiada yang membawa sesuatu pun dari hadiah-hadiah tersebut kecuali ia akan membawanya sebagai beban tengkuknya pada hari kiamat." (HR Imam Ahmad).

Melalui kisah di atas, Rasulullah SAW menegaskan tentang larangan (haramnya) bagi pejabat atau pegawai di lingkungan manapun menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri dengan menerima gratifikasi di luar hak yang telah ditentukan untuknya.

Menurut UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU Nomor 20/2001 bab penjelasan Pasal 12B ayat (1), gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline