Lihat ke Halaman Asli

Merza Gamal

Pensiunan Gaul Banyak Acara

Iktikaf Sebagai Media Mendekatkan Diri dengan Sang Maha Kekasih

Diperbarui: 22 April 2022   18:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image Itikaf by Merza Gamal

Tak terasa malam ini, kita sudah memasuki fase 10 hari terakhir Ramadhan. Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan merupakan hari-hari yang spesial dan sangat diperhatikan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Nabi Muhammad SAW berusaha untuk bisa iktikaf di hari-hari tersebut, serta memerintahkan para sahabat untuk mencari malam lailatulqadar dan iktikaf bersama beliau.

Iktikaf berasal dari bahasa Arab akafa yang berarti menetap, mengurung diri atau terhalangi. Pengertiannya dalam konteks ibadah dalam Islam adalah berdiam diri di dalam masjid dalam rangka untuk mencari keridaan Allah dan bermuhasabah atas perbuatan-perbuatannya. Orang yang sedang beriktikaf disebut juga muktakif.

Iktikaf sangat dianjurkan dilaksanakan setiap waktu di bulan Ramadhan. Di kalangan para ulama terdapat perbedaan tentang waktu pelaksanaan iktikaf, apakah dilaksanakan selama sehari semalam (24 jam) atau boleh dilaksanakan dalam beberapa waktu (saat). Al-Hanafiyah berpendapat bahwa iktikaf dapat dilaksanakan pada waktu yang sebentar tapi tidak ditentukan batasan lamanya, sedang menurut al-Malikiyah iktikaf dilaksanakan dalam waktu minimal satu malam satu hari.

Dengan memperhatikan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa iktikaf dapat dilaksanakan dalam beberapa waktu tertentu, misal dalam waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam dan seterusnya, dan boleh juga dilaksanakan dalam waktu sehari semalam (24 jam).

Di dalam Al Quran surat al-Baqarah ayat 187 dijelaskan bahwa iktikaf dilaksanakan di masjid. Di kalangan para ulama ada perbedaan pendapat tentang masjid yang dapat digunakan untuk pelaksanaan iktikaf, apakah masjid jami' atau masjid lainnya. Sebagian berpendapat bahwa masjid yang dapat dipakai untuk pelaksanaan iktikaf adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin khusus, baik masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan salat lima waktu atau tidak. Hal ini sebagaimana dipegang oleh al-Hanafiyah (ulama Hanafi). Sedang pendapat yang lain mengatakan bahwa iktikaf hanya dapat dilaksanakan di masjid yang biasa dipakai untuk melaksanakan salat jama'ah. Pendapat ini dipegang oleh al-Hanabilah (ulama Hambali).

Para  ulama sepakat bahwa orang yang melakukan iktikaf harus tetap berada di dalam masjid tidak keluar dari masjid. Namun demikian bagi mutakif (orang yang melaksanakan iktikaf) boleh keluar dari masjid karena beberapa alasan yang dibenarkan, yaitu;

  • karena 'udzrin syar'iyyin (alasan syar'i), seperti melaksanakan salat Jum'at
  • karena hajah thabi'iyyah (keperluan hajat manusia) baik yang bersifat naluri maupun yang bukan naluri, seperti buang air besar, kecil, mandi janabah dan lainnya.
  • karena sesuatu yang sangat darurat, seperti ketika bangunan masjid runtuh dan lainnya.

Beberapa amalan (ibadah) yang dapat dilaksanakan oleh insan-insan yang melaksanakan iktikaf, adalah;

  • Melaksanakan salat sunat, seperti salat tahiyatul masjid, salat lail dan lain-lain
  • Membaca al-Quran dan tadarus al-Quran
  • Berdzikir dan berdo'a
  • Membaca buku-buku agama

Hal yang terpenting dalam kita menjalankan iktikaf adalah hati yang fokus kepada Allah, mengumpulkan hati kepadaNya, berkhalwat kepadaNya, memutuskan hubungan dengan makhluk dan menyibukkan diri hanya denganNya.

Imam Ibnul Qayyim berkata tentang hakikat dari iktikaf,

"Sampai dia merasa tenteram dan bahagia tatkala dia berduaan kepada Allah yang biasanya dia rasakan tatkala bersama makhluk, yang dengan demikian dia akan mempersiapkan dirinya untuk bisa merasa tenteram dengan Allah ketika dalam kubur di mana tidak ada teman ketika itu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline