Lihat ke Halaman Asli

Merza Gamal

Pensiunan Gaul Banyak Acara

Simalakama Industri Rokok di Indonesia

Diperbarui: 20 Februari 2022   06:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image: Persentase anak merokok di Indonesia (File by Merza Gamal)

Data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mencatat bahwa pada 1990-an usia awal merokok pada anak-anak dimulai saat usia menginjak 15 tahun namun pada 2004 diperkirakan usia awal merokok pada anak-anak dimulai pada saat 7 tahun.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada 2018, Indonesia menempati urutan ketiga terbesar di dunia dalam hal konsumsi rokok setelah China dan India. 38,3 persen penduduk Indonesia adalah perokok dan sekitar 20 persen di antaranya adalah remaja usia 13 sampai 15 tahun.

Persentase perokok usia 10 sampai 18 tahun terus mengalami peningkatan dari 2013 sebesar 7,2 persen menjadi 9,1 persen di 2018. Di antara perokok anak, 1,5 persen perokok mulai merokok pada usia yang sangat muda yaitu usia 5 sampai 9 tahun sehingga Indonesia mendapat julukan baby smoker country. 56,9 persen perokok mulai merokok pada usia 15 sampai 19 tahun menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013).

Iklan, promosi dan sponsor rokok memang dinilai berperan penting dalam menciptakan budaya merokok pada remaja. Berdasarkan penelitian dampak keterpajangan iklan dan sponsor rokok terhadap kognitif, afeksi dan perilaku merokok remaja yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada 2007 tercatat 46,3 persen menunjukkan pengaruh besar iklan dan sponsor rokok untuk memulai merokok.

Berbagai studi menunjukkan terpaan iklan, promosi dan sponsor rokok sejak usia dini meningkatkan persepsi positif dan keinginan untuk merokok. Studi Uhamka 2007 menunjukkan, 46,3% remaja mengaku iklan rokok mempengaruhi mereka untuk mulai merokok. Studi Surgeon General menyimpulkan iklan rokok mendorong perokok meningkatkan konsumsinya dan mendorong anak-anak untuk mencoba merokok serta menganggap rokok adalah hal yang wajar (WHO 2009).

Hasil monitoring iklan rokok yang dilakukan Yayasan Lentera Anak, SFA dan YPMA di 5 kota pada 2015 menemukan 85% sekolah dikelilingi iklan rokok. Pemantauan yang dilakukan Forum Anak di 10 kota pada 2017 menunjukkan ada 2.868 iklan, promosi, dan sponsorship rokok. Di satu sisi anak dan remaja dikepung iklan, promosi dan sponsor rokok yang massif, di sisi yang lain peraturan yang melindungi anak dari rokok sangat lemah.

Semakin sering remaja dan anak-anak menyaksikan iklan rokok yang bernilai miliaran rupiah per tahunnya dan berorientasi mengajak generasi muda merokok, maka peluang mereka untuk mulai merokok pun meningkat. Upaya imbauan dan pembatasan iklan rokok yang baru hanya menjangkau 5 persen populasi dunia hampir dipastikan tidak dapat bersaing dengan usaha gencar perusahaan-perusahaan tembakau untuk terus saja mempromosikan rokok sebagai komoditi yang identik dengan glamor, energi, dan ketertarikan seksual.

Pada setiap bungkus rokok dan dalam setiap iklan rokok dicantumkan kalimat peringatan "merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin". Namun, sepertinya orang tidak pernah takut dengan peringatan tersebut meski menyadari bahwa rokok tersebut merupakan racun yang akan membahayakan dirinya.

Berbeda dengan sejumlah racun lainnya, puluhan jenis racun yang terkandung dalam satu batang rokok memang tidak bekerja secara langsung, antara lain gas karbon monoksida, nitrogen, hidrosianiada dan ammonia begitu juga dengan 43 jenis zat penyebab kanker yang dapat terhirup perokok pasif dan tentu saja aktif. Sifat puluhan racun yang bekerja perlahan-lahan itu juga yang membuat sebagian besar --jika tidak dapat dikatakan seluruh-- perokok tidak mempedulikan bahaya rokok sekalipun mengetahuinya.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki peraturan yang bertujuan mengendalikan konsumsi rokok, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan atau PP 109/2012. Pemerintah diminta memberikan sanksi tegas, namun hal itu tidak ada dalam PP 109/2012.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline