Permasalahan krisis yang sering melanda ekonomi dunia saat ini, bukan hanya diakibatkan sistem kapitalisme yang diragukan kemampuannya dalam mewujudkan kesejahteraan dunia, tetapi juga diakibatkan oleh berubahnya etika moral para pelaku dunia keuangan.
Kerusakan yang timbul karena berubahnya etika moral mereka, bukan hanya mengenai lingkungan mereka saja, tetapi mempunyai dampak yang besar pada transformasi lembaga keuangan terhadap fungsi perekonomian secara umum.
Untuk menjalankan bursa saham yang dapat berfungsi dengan baik, dibutuhkan informasi akurat mengenai nilai suatu perusahaan agar investor bisa membayar harga yang tepat pada saham yang akan dimilikinya.
Akan tetapi, karena perubahan etika moral, para pelaku dunia keuangan, berani, mengaburkan persoalan-persoalan inheren perusahaan yang mereka bawa ke pasar atau yang mereka bantu penjualan sahamnya demi menambah modal perusahaan. Dengan demikian, mereka telah ikut menurunkan kualitas informasi.
Dalam banyak kasus, mereka mengetahui kondisi riil perusahaan yang mereka tangani, tetapi publik tidak mengetahuinya. Hal itu, menyebabkan keyakinan publik terhadap pasar menjadi turun, dan saat informasi yang benar terkuak, harga-harga saham menjadi terhempas tajam.
Demikian pula dalam sosioekonomi dan politik, etika moral berlandaskan agama dijauhkan. Akibatnya masyarakat lepas dari mekanisme filter yang secara sosial disepakati. Kepentingan diri sendiri, harga, dan keuntungan menggantikan posisi etika moral sebagai kriteria utama bagi alokasi dan distribusi sumber-sumber daya untuk menstabilkan permintaan dan penawaran agregat.
Meskipun nurani fitrah individu yang tertanam dalam lubuk kesadarannya masih tersisa sebagai mekanisme filter pada tingkat individual, tetapi hal itu tidak memadai untuk menjalankan fungsinya sebagai mekanisme filter yang diperlukan untuk menciptakan suatu keharmonisan antara kepentingan diri individu dan kepentingan masyarakat.
Akibat penolakan penggunaan mekanisme filter yang disediakan oleh penilaian berbasis moral, dan makin melemahnya perasaan sosial yang diserukan agama, menyebabkan perwujudan cita-cita kesejahteraan masyarakat sebagai manusia yang saling bersaudara dan sama-sama diciptakan oleh satu Tuhan hanyalah sebuah impian.
Peningkatan moral dan solidaritas sosial tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya kesakralan moral yang diberikan oleh agama. Para ahli mengakui, bahwa agama-agama cenderung memperkuat rasa kewajiban sosial dalam diri pemeluknya daripada menghancurkannya. Tidak ada contoh signifikan dalam sejarah yang menemukan, bahwa suatu masyarakat yang berhasil memelihara kehidupan moral, tanpa bantuan agama.
Ajaran ekonomi yang dilandaskan nilai agama akan menjadikan tujuan kesejahteraan kehidupan yang meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju kepada Tuhannya.