Membangun Dialog CEO dengan Insan Perusahaan Untuk Mewujudkan Tujuan Organisasi
Setelah CEO berhasil mengkomunikasikan tujuan perusahaan kepada tim Top Leader dan memiliki arah serta batasan untuk melangkah maju, CEO akan menghadapi tantangan lain, yaitu apa yang berarti bagi CEO mungkin tidak bermakna bagi insan perusahaan.
Perusahaan tidak bisa mendapatkan hasil maksimal dari tujuan jika insan perusahaan tidak selaras dengan tujuan perusahaan. Dengan mencari tahu sumber makna insan perusahaan dan bertindak berdasarkan apa yang didengar, CEO akan dapat membantu mewujudkan tujuan bagi insan perusahaan.
Sebuah contoh yang terjadi di lapangan, bagaimana para pemimpin bank di Eropa mendekati tugas yang tampaknya mudah, yaitu pengenalan kode berpakaian baru untuk teller. Langkah tersebut, bagian dari inisiatif tujuan yang lebih luas, dimaksudkan untuk mendorong pelanggan dan staf untuk membentuk hubungan pribadi dan emosional yang lebih kuat. Mendorong insan perusahaan untuk tampil sebagai individu akan membantu dalam hal ini.
Pendekatan termudah adalah mendelegasikan kode berpakaian baru kepada Human Resource, seperti yang mungkin dilakukan perusahaan lain. Tetapi para pemimpin bank bahkan tidak pernah mempertimbangkan itu.
Menurut mereka, bagaimana insan perusahaan dimaksudkan untuk memberdayakan pelanggan jika mereka tidak diberdayakan untuk memiliki suara dalam memilih pakaian mereka sendiri?
Kode berpakaian yang dihasilkan membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk dikembangkan, tetapi kode tersebut menawarkan lebih banyak kepada insan perusahaan dari apa yang mereka inginkan, termasuk berbagai pilihan dan pilihan personalisasi.
Hal terpenting adalah menegaskan kepada insan perusahaan bahwa mereka adalah bagian integral dari menciptakan dan menghidupi tujuan perusahaan, yang membantu memotivasi mereka untuk menerapkannya sendiri dalam pekerjaan mereka.
Meskipun menyertakan insan perusahaan dalam diskusi yang bertujuan tampak jelas, hal itu tidak terjadi sesering yang seharusnya. Dalam survei McKinsey, misalnya, 72 persen pemimpin puncak mengatakan bahwa mereka melibatkan insan perusahaan dalam proses pengembangan tujuan organisasi, namun hanya 56 persen insan perusahaan garis depan yang setuju (dan 29 persen tidak setuju).
Maka, tidak mengherankan jika ditemukan bahwa insan perusahaan garis depan lebih kecil kemungkinannya daripada pemimpin perusahaan untuk mengatakan bahwa tujuan perusahaan penting bagi mereka secara pribadi (masing-masing 72 persen vs 89 persen) atau untuk mengatakan bahwa mereka memahami bagaimana peran mereka berkontribusi pada tujuan.
Perbedaan sudut pandang tidak berarti bahwa insan perusahaan garis depan tidak tertarik pada tujuan. Sebaliknya, penelitian menemukan bahwa insan perusahaan non-manajemen sama mungkinnya dengan para pemimpin puncak untuk mengatakan bahwa tujuan harus lebih menjadi prioritas, bahkan ketika mereka berbeda dengan para pemimpin dalam hal apa yang harus difokuskan oleh tujuan itu.