Lihat ke Halaman Asli

Dilema Pembiayaan Konsumtif

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1399423494536559389

Pada dekade sebelum 1990-an, komposisi kredit perbankan sebagian besar diperuntukkan bagi pembiayaan sektor produktif, baik itu sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, serta sektor produktif lainnya. Dengan demikian yang menjadi debitur perbankan, saat itu, kebanyakan adalah petani, pengusaha, ataupun pedagang. Namun seiring perubahan gaya perekonomian, porsi mereka dalam mendapatkan pembiayaan dari bank semakin berkurang dari hari ke hari. Di lain sisi, satu profesi, yaitu pekerja yang sebelumnya sangat jarang menjadi debitur perbankan, saat ini merupakan sasaran penyaluran kredit bank-bank dalam pembiayaan yang bersifat konsumtif.

Namun setelah krisi global pada akhir 90an, terjadi perubahan, di mana yang mendorong pertumbuhan kredit perbankan setelah krisis itu adalah sektor konsumtif, bukan sektor produktif. Dengan demikian, kondisi yang terjadi pada saat ini adalah profesi pekerja (pegawai) jauh lebih banyak menjadi debitur perbankan dibandingkan profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan profesi petani. Hal serupa juga terjadi di Amerika, sebagaimana yang disampaikan Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade (2003), bahwa kini, rata-rata orang Amerika yang berhutang bukan petani, melainkan orang-orang yang menjadi pegawai.

Seringkali kita dengar, dari para pelaku perbankan, bahwa pinjaman konsumtif merupakan pendorong pertumbuhan kredit perbankan yang aman. Apakah keyakinan para pelaku perbankan terhadap kredit konsumtif yang menjanjikan dan aman benar adanya, dapat kita resapi dari bahasan Stiglitz pada bukunya di atas, meskipun ia tidak secara khusus membahas permasalahan tersebut.

Seorang pekerja dalam sebuah roda perekonomian sangat tergantung dengan sebuah produktivitas. Ketika perekonomian sedang menggunakan sumber dayanya secara maksimal, peningkatan produktivitas memungkinkan naiknya PDB, upah, dan memperbaiki standar hidup. Sebaliknya, ketika perekonomian mengalami resesi, semuanya akan berbalik arah dengan turunnya PDB, upah, serta memburuknya kualitas hidup masyarakat, termasuk profesi pekerja. Apabila resesi yang terjadi karena permintaan yang terbatas, misalnya outputhanya naik 1 persen sedangkan kapasitas produksi 3 persen lebih output, maka pekerja yang diperlukan menjadi lebih sedikit, sehingga akan berdampak kepada peningkatan pengangguran.

Peningkatan laju pertumbuhan produktivitas, dalam jangka pendek, bisa jadi menghasilkan tingkat output yang lebih rendah. Akan tetapi, angka pengangguran yang tinggi akan menjadi penyebab penekan upah pekerja. Situasi dunia kerja menjadi tidak menentu yang akan berakibat tertekannya konsumsi, atau paling tidak laju pertumbuhan konsumsi akan menurun. Namun, karena kapasitas produksi berlebih, kenaikan laba yang disebabkan oleh penurunan upah dan penurunan suku bunga, tidak otomatis mendorong peningkatan investasi. Akibat pertumbuhan konsumsi yang menurun atau melambat, maka output secara keseluruhan akan berkurang. Akhirnya semakin sedikit pekerja yang dibutuhkan.

Era “Ekonomi Baru” setelah tahun 1990 yang sangat menekankan teknologi tinggi dan kemudahan komunikasi informasi, turut merubah pola perusahaan dalam mempertahankan pekerjanya. Dahulu, perusahaan akan mempertahankan para pekerjanya di tengah resesi, walaupun mereka tidak terlalu diperlukan. Sekarang, seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, saat ini, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Lebih jauh lagi, telah muncul idiom baru yang berbunyi “pecat pegawai anda begitu tidak dibutuhkan lagi, karena mereka selalu bisa dikontrak (outsourcing) lagi nanti saat diperlukan”.

Munculnya era ekonomi baru beserta budaya baru yang ditimbulkannya, akan sangat berpengaruh terhadap pinjaman konsumtif yang diberikan bank kepada nasabahnya, yang hampir seluruhnya, merupakan pekerja. Kerentanan kondisi pekerja yang ada saat ini akan membuat pekerja mudah sekali kehilangan pekerjaannya. Pada saat seseorang kehilangan pekerjaan, hal utama yang akan dipenuhi adalah kebutuhan pokok mereka dalam mempertahankan kehidupannya. Dari sisi psikologi, pada saat seseorang mempunyai sumber daya yang terbatas, maka pemenuhan kewajiban (hutang) akan menjadi urutan pemenuhan yang terakhir. Dengan demikian, risiko yang akan ditanggung oleh sebuah bank yang mempunyai portfolio pembiayaan konsumtif yang besar turut menjadi besar setiap siklus resesi terjadi pada roda perekonomian.

Permasalahan penting lainnya yang membayangi portfolio pinjaman konsumtif yang besar adalah terjadinya kondisi suku bunga tinggi. Menurut Stiliglitz, suku bunga tinggi sangat tidak baik bagi para pekerja (pegawai upahan), dan mereka akan rugi pada tiga hitungan, yaitu:


  1. Tingginya suku bunga dapat menimbulkan naiknya angka pengangguran;
  2. Tingginya pengangguran meletakkan tekanan terhadap besaran upah;
  3. Akibat hutang yang dimiliki pekerja, suku bunga tinggi membuat makin berkurangnya kemampuan mereka mengeluarkan uang untuk kebutuhan lainnya.

Bila dikaji lebih lanjut, sistem bunga pada sebuah pembiayaan mempunyai pengaruh yang tidak baik bukan saja pada saat suku bunga tinggi, melainkan juga pada saat suku bunga rendah. Menurut Umer Chapra (1985), sistem bunga akan merugikan penghimpunan modal, baik suku bunga tersebut tinggi maupun rendah.

Suku bunga yang tinggi akan “menghukum” pengusaha sehingga akan:

-menghambat investasi dan formasi modal;

-menimbulkan penurunan dalam produktivitas dan kesempatan kerja;

-menyebabkan laju pertumbuhan yang rendah.

Suku bunga yang rendah akan “menghukum” para penabung yang akan:

-menimbulkan ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan;

-mengurangi rasio tabungan kotor;

-merangsang pengeluaran konsumtif yang menimbulkan tekanan inflasioner;

-mendorong investasi yang tidak produktif dan spekulatif;

-menciptakan kelangkaan modal dan menurunnya kualitas investasi.

[caption id="attachment_335041" align="aligncenter" width="448" caption="Pekerja Menunggu Commuter Line Menuju Tempat Kerja Saat Pagi Menjelang"][/caption]

Bagi seorang pekerja yang sangat tergantung kepada perusahaan pada era ekonomi baru dengan budaya perusahaan yang berbeda dengan masa lalu, kondisi suku bunga yang tinggi maupun rendah mempunyai dampak yang signifikan dalam pemanfaatan dana yang mereka peroleh maupun miliki dari hasil pekerjaan mereka.

Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan, pendapat sebagian pihak yang menyatakan bahwa pembiayaan konsumtif merupakan portfolio yang menguntungkan dan aman pada saat ini, sebenarnya kurang tepat. Sebaliknya, pelaku perbankan sadar bahwa terlalu besar mengelolah portfolio pembiayaan konsumtif merupakan sebuah “api dalam sekam”, yang tiba-tiba akan dapat menghabiskan semua yang ada pada saat yang tidak dapat diduga sebelumnya, dan dapat saja menjadi sebuah “dilemma” masa depan. Apakah fenomena “subprime mortgage” yang pernah terjadi di Amerika tahun 2007 tidak cukup menggugah para pelaku keuangan di Indonesia?????

Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline