Kebangsaan kita kerap mengalami disorientasi. Bukan saja semakin tidak mengenal para pahlawan yang sudah berjasa pada bangsa kita; lebih jauh banyak pihak yang semakin tidak mau menghargai eksistensi karya kepahlawanan itu yaitu kebangsaan kita.
Sebaliknya banyak pihak yang mengenalkan kepada anak-anak dan generasi muda dengan sejarah bangsa lain yang meskipun sangat dekat dengan agama yang dianut tetapi nilai-nilai kebangsaan dan wujud kebangsaan itu sangat berbeda.
Sebagai contoh, mungkin beberapa anak sekolah dasar sedikit tahu soal bagaimana kejayaan nusantara di masa lalu selain dari buku-buku sejarah. Mungkin mereka juga tidak tahu bahwa kekayaan budaya dan etnik kita sangat mengagumkan karena luar biasa banyak dan berbeda. Mungkin dari kita juga tak pernah datang ke pulau Tidore di Maluku, atau ke pulau Sabu di Nusa Tenggara Timur.
Kita dan mungkin generasi muda kita mungkin belum tahu persis bagaimana kehidupan suku dayak atau Kapuas hulu. Mungkin kita malah belum ke Banjarmasin dan mengunjungi pasar terapung yang sering membuat banyak orang berdecak kagum. Sedikit yang tahu soal kekayaan alam di Sulawesi yang tersembunyi, dari besi sampai emas. Alamnya juga berisikan pantai dan gua-gua indah dan mempersona.
Semua bagian dari Indonesia itu ada, berkat sejarah yang amat panjang. Bukan saja berkat para pahlawan yang membuat Indonesia merdeka dan berdaulat seperti sekarang, tatapi sejak nenek moyang - kerajaan Majapahit, Sriwijaya sampai Pajajaran dan Jenggala. Juga beberapa kerajaan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa sampai kepulauan Maluku. Mereka turut membentuk tipikal kebangsaan kita yang dikagumi banyak bangsa.
Selama mungkin satu dekade ini ada beberapa upaya yang mencoba membelokkan bahkan menghapus prespektif masyarakat kita akan sejarah bangsa. Mereka seringkali melupakan dan bahkan menyagkal akar kita dari kejayaan Nusantara seperti yang diterangkan di atas. Mereka malah membanggakan dan mengajak kita kagum pada sejarah bangsa lain. Singkat kata, sejarah atau apa yang kita miliki dianggapnya tidak berarti (inferior) dibanding dengan sejarah bangsa lain yang dianggap sebagai sejarah ideal.
Berbagai upaya ini melakukan bebeberapa hal yang terlalu jauh; bukan saja mempengaruhi kognitif kebangsaan kita tapi juga budaya sampai upaya (yang sangat gigih) untuk mengubah haluan dan ideologi negara.
Slogan Jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah) dalm pidato Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Sukarno sejatinya ingin membangkitkan kesadaran kita semua soal pentingnya factor historis dan akar kebangsaan kita. Akar sejarah kita berbeda dengan bangsa Korea meski sama-sama pernah berperang melawan Jepang. Kita juga punya historika yang berbeda dengan negara-negara di Timur Tengah meski bangsa kita terbanyak memeluk agama Islam.
Paham dan menghargai sejarah bangsa hakekatnya adalah kewajiban moral kita sebagai bangsa Indonesia. Korea dan Jepang bahkan Cina bisa sedemikian majunya karena mereka sangat menghargai akar dan kebangsaan mereka. Ini juga jadi factor penting bagi kita untuk mengantarkan bangsa kita jauh lebih maju dibanding sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H