Lihat ke Halaman Asli

Mengembalikan Koridor Jurnalistik

Diperbarui: 15 Februari 2019   02:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Karya jurnalistik dari dahulu sampai sekarang sebenarnya punya koridor (baca : batasan) yang ketat dalam menampilkan berita tertentu. Koridor itu antara lain ; akurasi, cover both side, actual dan soal magnitude (daya tarik) dll. Dengan koridor-koridor yang ketat dan nyaris rijid itu, media massa yang masih berpijak pada idealisme seharusnya dapat menghasilkan karya yang baik pula.

 Hanya saja, seringkali situasi eksternal (Negara) dan masyarakat juga mempengaruhi itu.  Semisal ketika kita dalam masa orde baru, karya jurnalistik sedikit banyak juga terpengaruh atau paling tidak menyesuaikan diri dengan s ituasi tersebut.

Misalnya berita tentang pembangunan waduk kedungombo yang sebenarnya bermaksud baik tetapi ada korban yaitu masyarakat setempat dalam hal ini petani yang menggarap lahan sekitar waduk. Mereka menjadi terusir karena pembangunan itu. Dalam konteks itu media menulis peristiwa itu tapi disesuaikan dengan situasi rezim yang berkuasa saat itu adalah orde baru.

Namun yang menarik adalah pada tahun 1998, demokrasi menemukan masa gemilangnya seteah melalui masa reformasi. Diaman rezim orde baru runtuh dan mulainya situasi demokrasi bagi semua rakyat. Demokrasi yang diidam-idamkan oleh semua orang karena membuka keran kebebasan berpendapat dan berkreasi. Negara kita tercatat punya kondisi  demokrasi yang lebih baik dibanding Malaysia , misalnya.

Karena itu pasca reformasi, situasi media memang berubah total. Media menjadi lebih bebas menyuarakan sesuatu tanpa harus tunduk pada penguasa politik. Hanya saja, koridor-koridor media masih berlaku, yaitu akurasi, cover both side dll.

Hal ini bisa kita lihat misalnya dengan begitu transparannya pemberitaan media saat terjadi dinamika politik tahun 1999- 2003. Dimana terjadi ketidak cocokan DPR/MPR dengan eksekutif dalam ha ini Presiden Abdurrahman Wahid yang akhirnya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Pada masa-masa setelah itu media sangat bebas dalam mengambil sudut pandang dan menampilkan isinya.  Pada masa itu media mendapat kejayaannya secara demokrasi ; bersuara dan berpendapat dengan bertanggung jawab.

Namun pada tahun 2010 ketika media sosial berkembang pesat di Indonesia, pergeseran berita mulai terjadi secara tidak kita sadari. Media sosial yang dengan sifatnya itu seringkali membawa berita yang tidak akurat dan jauh dari koridor ketat jurnalistik. Konyolnya berita yang dibawa oleh media sosial itu dipercaya oleh masyarakat, sehingga sering terjadi bias berita.

Atas kondisi-kondisi tertentu juga, media mainstream yang seharusnya dibangun atas koridor jurnalistik, seringkali mengutip media-media sosial. Padahal tak jarang media sosial penuh dengan hoaks dan ujaran kebencian.Beberapa diantaranya disertai konfirmasi, tapi sebagian lainnya tidak. Sehingga media mainstream yang sering berbasis berita dari media sosial menjadi tak utuh lagi sebagai karya jurnalistik yang bisa dipertanggungjawabkan kepada khalayak.

Karena itu dengan momentum hari Pers nasional yang jatuh pada tgl 9 Februari lalu, mungkin kita bisa mengingat lagi fungsi media dan koridor-koridor jurnalistik yang harusnya dapat ditegakkan kembali.  Dengan begitu masyarakat  bisa mendapat manfaat secara lebih baik. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline