Lihat ke Halaman Asli

Surat Dari Palestina

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam itu adalah malam ketika hujan tak lagi berbentuk titik air, yang biasanya membasahi tempat tidurku karena atap rumah yang bocor.

Malam itu benda sejenis kometlah yang menjadi hujan, nyaris seperti badai.
Indah memang.
Tapi aku tak tahan mendengar semuruh suaranya.

Pagi itu pun tak ada ayam yang berkokok, membangunkan manusia.
Lagi-lagi, hujan komet itu yang membangunkanku dari mimpi.
Ku buka jendela, semua bangunan rata dengan tanah.
Mana rumah kawan-kawanku ?
Ada apa dengan sekolahku ?

Lalu aku teringat pada ayah yang tak pulang semalaman.
Ayanh berjanji akan membawakan kejutan bila ia menang.
Tapi kemana ayah semalam ?
Apa yang dilakukannya ?
Tak takutkah ia dengan gemuruh ledakan bagai di neraka ini ?

Perutku yang kosong berbunyi, seakan protes minta di isi.
Ibu datang membawakanku segelas susu sisa kemarin,
yang entah bagaimana rasanya.
Tapi aku harus meneguknya demi perutku yang tipis.
Agar terasa sedikit nikmat, aku meminumnya sambil membayangkan kira-kira kejutan apa yang akan dibawakan ayah.

Tak lama ayah pulang.
Namun, mengapa tubuhnya terbujur dan dibungkus kain putih yang bercorak kemerahan ?
Dan mengapa ibu menangis tersedu-sedu melihat kepulangan ayah ?
Mungkin ibu tak dapat kejutan dari ayah.
Lalu, mana kejutan untukku ?
Oh, mungkin pistol-pistolan yang digenggamnya ini.
Inilah pertama kalinya aku memiliki sebuah pistol-pistolan.

Penulis: Meryam Zahida (07/02/09)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline