Lihat ke Halaman Asli

I Ketut Merta Mupu

Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Mimpi itu Tuntunan Hidup

Diperbarui: 26 Agustus 2018   18:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Meajar-Ajar (Dok Pribadi)

Sebagian orang percaya bahwa mimpi adalah petunjuk hidup, sebagiannya lagi membiarkan mimpinya begitu saja, dianggap bunga tidur. Hal itu terjadi karena menterjemahkan mimpi bukan hal mudah.

Tak jarang seseorang hingga pergi ke sulinggih (Brahmana pendeta) ataupun ke Balian usada untuk mengetahui maksud mimpinya bila mimpi buruk dan mimpinya serius. Bilamana mimpinya biasa saja, dianggap tak penting, dibiarkan berlalu, padahal seringkali mimpi yang terlihat sepele merupakan tuntunan hidup. Berikut contoh-contohnya:

1. Saya sedang berada di dekat pura Jero Kamulan bersama keluarga besar. Kami semua berpakaian adat serba putih karena mau 'meajar-ajar' ke suatu pura. Tak lama berselang, datanglah bus 'Bali Perdana' yang mau menjemput kami.

Dalam pikiran saya, kami akan berangkat meajar-ajar baru lagi dua hari, membawa pejati sebagai sarana persembahyangannya. Sebelum berangkat saya disuruh mekidung, sedangkan yang ngartos (menterjemahkan) bli Mangku P. Saya pun matembang geguritan pupuh Sinom Payangan: "Usana Bali saking Jawi...".

Tersadar dari mimpi agak terperangah mengernyitkan dahi, soalnya kidung itu janggal. Dalam kenyataan liriknya tidak seperti itu, melainkan seperti ini; "Usana Bali ne kaucap, daging lontar ne kagurit.." dst. Hal unik lainnya adalah mau berangkat sudah dijemput bus tetapi mau berangkat baru lagi dua hari.

Setelah saya renungkan paginya, akhirnya saya paham bahwa saya disuruh menghaturkan Daksina Tapak Linggih (makna Pejati) lagi dua hari di Kamulan (makna tempat Jro Kamulan). Saya diajari atau diberi petunjuk (makna meajar-ajar) oleh leluhur (makna keluarga besar). Petunjuk ini sesuai piteket dari Bhatara Kawitan (makna kidung Usana Bali saking Jawi. Usana: aturan. Jawi ngaran Kawi ngaran Kawitan).

Sebelum mimpi seperti itu saya sedang bingung (usai mewinten Pemangku Kawitan) kapan hari yang tepat untuk melinggihkan daksina Tapak Linggih dan dimana sebaiknya dilinggihkan?  waktu itu rencananya mau dilinggihkan di kamar suci (sebab saya lebih nyaman meditasi di kamar suci) karena waktu di pura usai mewinten, Jero Bendesa mengatakan daksina Tapak Linggih bisa dilinggihkan di Taksu, kalau tak ada Taksu bisa di Kamulan, bisa di Kamar Suci ataupun di Pelanggatan/Kajan. Sedangkan saya tidak memiliki Taksu. Namun pada akhirnya melalui mimpi, Bhatara Kawitan menuntun saya untuk melakukan hal yang lebih tepat.

2. Berjalan berdua bersama sepupu yang cewek, mau ke rumahnya. Setelah dekat rumahnya, saya melihat rumahnya diitari/dipagari kain putih sebagai pembatas, ternyata di rumahnya ada kematian. Yang meninggal Kumpi yang perempuan (di kenyataan sudah meninggal juga).

"Jero, Jerone sing dadi kasebelan! (Kau tak boleh kecuntakaan)" Ujar sepupu menasehati. Dinasehati seperti itu, saya hanya bisa mondar-mandir di luar dan merasa sedih tidak boleh menjenguk keluarga yang meninggal. Saya teringat masih ngemit tirta pingit Hulundanu karena usai mapawinten sehingga memang harus begitu. Dalam pikiran saya, baru boleh kesana (ke tempat kematian) setelah dua belas hari (roras dina).

Saat sadar, saya bertanya pada diri, apakah akan ada leluhur wanita reinkarnasi? Sebab kalau memimpikan seseorang yang sudah jadi dewa Hyang dimimpikan meninggal, itu pertanda akan ada leluhur yang numitis. Setelah dua hari direnungkan, akhirnya dapat dipahami bahwa saya tidak dibolehkan ke tempat ngaben massal (makna orang mati dimimpikan mati, soalnya kalau ngaben masal orang sudah meninggal seolah dibuat baru meninggal dengan dibuatkan lalang), dalam hal ini mimpi sarat dengan konteks. Selain itu karena dikuatkan oleh kata 'roras dina', maknanya bahwa saya baru boleh ke tempat ngaben setelah 'ngeroras' (makna roras dina).

Petunjuk di atas saya jalankan meski ada salah satu keluarga besar (bukan keluarga dekat) yang diaben. Saya tidak kesana mulai dari 'nebusin' hingga 'pengutangan', walau ada perasaan tidak enak dengan keluarga lainnya, ketimbang saya jadi korban salahang Bhatara Kawitan yang saya 'iringang'.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline