Lihat ke Halaman Asli

I Ketut Merta Mupu

Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Salah Kaprah Tentang Mahabharata

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1377262352850346115

[caption id="attachment_261224" align="alignnone" width="555" caption="Shri Krishna, avatara Visnu, mengajarkan Bhagavad Gita ketika perang besar Bharata akan dimulai (http://www.hinduhumanrights.info)"][/caption]

Pada suatu kesempatan, saya pernah mengatakan pada seorang Profesor (beragama Islam), bahwa Mahabharata lebih agung dari Hadist riwayat. Sontak saja sang profesor kebakaran jenggot tidak terima pernyataan itu. Beliau menyatakan Mahabharata hanyalah cerita biasa dan tidak bisa dibanding-bandingkan dengan Hadist riwayat.

Wajar beliau menganggap biasa, lantaran di Indonesia Mahabharata hanya berbentuk cerita biasa dan dipentaskan dalam bentuk Wayang. Selain itu, Mahabharata versi Jawa tidak berbentuk sloka-sloka, kisahnyapun singkat. Akan tetapi, Mahabharata sesuai teks Sanskerta berbentuk sloka terdiri dari 100.000 sloka.

Tak bisa dibayangkan setebal apakah bila kitab itu dikumpulkan menjadi satu buku? tidak akan pernah bisa menjadi satu buku, saking tebalnya. Oleh karena itulah sejak awal adanya kitab Mahabharata dibagi menjadi 18 buku (Astadasa Parwa).

Di dalam kitab Sarasamuccaya, juga dalam Visnu Purana, disebutkan bahwa Veda tidak boleh dipelajari orang awam. Agar dibolehkan mempelajari Veda, salah satu syaratnya harus mempelajari Itihasa dan Purana, Mahabharata tergolong ke dalam Itihasa.

“Hendaknya seseorang dalam belajar Veda melalui penjelasan Itihasa (Mahabharata dan Ramayana) juga kitab Purana. Sebab Veda sangat takut jika seseorang yang bodoh membacanya, dan berfikir bahwa si bodoh itu akan memukulnya” (Vayu Purana. I. 201).

“Veda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna melalui jalan mempelajari Itihàsa dan Puràna sebab Veda itu akan takut kepada orang-orang yang sedikit pengetahuannya, sabdanya: ‘wahai tuan-tuan jangan datang padaku’, demikian konon sabdanya karena takut” (Sarasamuccaya 39).

Bhagavan Krishna Dvaipayana Vyasa, Pengawi (pengarang) Mahabharata, menyatakan Mahbharata adalah Veda itu sendiri. Segala aturan yang ada didalam Veda, baik Sruti maupun Smerti terdapat didalamnya.

Contoh misalnya, kitab Bhagavad Gita yang yang telah diakui dunia sebagai kitab agung dan universal, hanyalah serpihan dari Bhisma Parwa. Demikian juga kitab Sarasamuccaya, semua isinya berasal dari Mahabharata. Pada bagian awal kitab Sarasamuccaya, pengawi menyatakan bahwa kitab itu berasal dari Mahabharata. Pernah pula dilakukan penelitian oleh para Indolog, ternyata memang benar isi keseluruhan Sarasamuccaya berasal dari Mahabharata.

Yang saya herankan, banyak menganggap Mahabharata hanyalah kitab cerita biasa, bukan petunjuk hidup. Anggapan itu tak hanya oleh orang non-Hindu, bahkan dilakukan orang Hindu yang awam. Padahal apa yang termuat didalam Veda Sruti maupun Semerti terdapat didalam Mahabharata, lengkap dengan contoh kasus (cerita).

Sudah sering saya kutipkan contoh Mahbharata terjemahan sesuai teks aslinya. Kebetulan saya memiliki Santi Parwa. Saya kutipkan contohnya sebagai berikut:

Yudisthira bertanya: “Apakah yang harus dilakukan sebelum seseorang itu boleh melakukan penyucian. Dan apakah yang harus dilakukan agar terbebas dari perasaan berdosa? Tolonglah jelaskan, O Kakek Guru!”.

Vyasa berkata : “Setelah meninggalkan tugas yang digariskan bagi seseorang, dan melakukan tugas yang bukan merupakan tugas darinya, dan berbuat licik, maka orang itu dapat melakukan penyucian total hingga tewas. Seorang yang sedang melakukan sumpah Brahmacarya, tetapi bangun dari dari tempat tidur setelah Matahari terbit, atau pergi tidur sebelum Matahari terbenam, seorang yang pengotor, berkuku hitam busuk dan bergigi demikian juga, orang yang adiknya menikah terlebih dahulu, orang yang menikah mendahului kakaknya, orang yang salah membunuh Brahmana, orang yang membicarakan buruk orang lain, orang yang menikahi wanita sebelum kakak dari wanita itu menikah, orang yang jatuh dan meninggalkan sumpah, orang yang membunuh anak-anak keturunan suci, orang yang mengajarkan pengetahuan Veda kepada orang yang tidak patut menerima pelajaran sedemikian, orang yang tidak mau mengajarkan pengetahuan itu kepada orang yang pantas menerima pengetahuan itu, orang yang terlalu banyak membunuh, penjual daging, orang yang meninggalkan api sucinya, orang yang menjual pengetahuan tentang Veda, orang yang membunuh guru atau membunuh seorang wanita, orang yang terlahir di dalam keluarga berdosa, orang yang dengan sengaja membunuh binatang, orang yang membakar rumah tempat tinggal, orang yang hidup dari penipuan, orang yang bertindak menentang guru, orang yang melanggar perjanjian, itu semua merupakan orang bersalah karena dosa-dosanya memerlukan penyucian sampai tewas. Sekarang perhatikan perbuatan yang tidak boleh dilakukan, perbuatan yang dicela oleh dunia dan juga oleh Veda. Perhatikan! Menolak kepercayaan dan keyakinan sendiri[1], melaksanakan kepercayaan orang lain, menolong dalam upacara – upacara keagamaan pada orang yang tidak pantas mendapatkan pertolongan sedemikian, memakan makan larangan, mengabaikan orang yang memerlukan perlindungan, mengabaikan para pelayan dan tanggungan dalam keluarga, menjual garam dan sejenisnya, membunuh burung dan hewan-hewan, menolak walaupun mampu, berzina, mengabaikan acara perbuatan memberi setiap hari (segenggam rumput bagi sapi dan sebagainya), tidak mempersembahkan daksina[2], menghinakan seorang Brahmana,- itu semua merupakan perbuatan yang oleh para bijaksana dipandang sebagai perbuatan yang tidak boleh dilakukan, merupakan pantangan dalam kehidupan. Anak yang bertengkar dengan ayah, orang yang mengotori tempat tidur gurunya[3], seorang yang meminum-minuman keras tanpa mengetahui akibatnya, atau meminumnya atas petunjuk dokter ketika ia sedang sakit dan jiwanya terancam, maka orang itu harus melakukan upacara-upacara penyucian kelahiran kembali. Demikian itulah apabila seseorang memakan bahan larangan, harus melakukan penyucian total. Murid yang atas perintah guru lalu melakukan hubungan dengan istri guru itu, dikatakan bahwa murid itu tidak berdosa. Misalnya Rsi Uddalaka memerintahkan kepada muridnya agar berhubungan dengan istrinya, dan dari hubungan itu lahir Swetaketu. Dalam keadaan darurat dan terpaksa, seseorang mencuri untuk kepentingan gurunya, maka perbuatan mencuri itu tidak berdosa. Tetapi seseorang yang mencuri demi kepentingan diri sendiri, jelas bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan berdosa. Dalam keadaan terpaksa, mencuri itu, asal jangan mencuri dari lingkungan kaum Brahmana, tidaklah salah. Hanya dalam keadaan sangat kritis, dan juga hanya untuk menyelamatkan guru, perbuatan mencuri tidak dicemari oleh dosa. Berbohong[4]mungkin dilakukan untuk menyelamatkan jiwa sendiri atau jiwa orang lain, atau untuk menyelamatkan guru, atau untuk melindungi dan memuaskan wanita, atau untuk kelancaran suatu proses perkawinan. Sumpah Brahmacarya tidak terlanggar apabila siswa bermimpi dan mengeluarkan air mani[5]. Walaupun demikian langkah penyucian perlu dilakukan yaitu dengan menuangkan minyak mentega murni ke dalam api suci. Apabila kakak yang lebih tua memang tak berdaya (sakit) atau meninggalkan kehidupan keduniaan (selibat), maka adiknya tidak berdosa apabila menikah. Apabila wanita datang dengan hormat, maka melakukan hubungan dengannya bukan merupakan dosa[6]. Orang tidak boleh membunuh atau menyebabkan binatang terbunuh terkecuali untuk upacara. Hewan-hewan itu menjadi suci, mengingat kasih sayang yang dicurahkan kepadanya oleh Tuhan Pencipta, garis aturan tentang binatang pun sudah ditetapkan oleh Pencipta sendiri. Orang yang memberikan pemberian kepada Bahmana yang tidak patut menerima, karena tidak mengetahuinya, orang yang memberi itu tidak berdosa. Tidak memberikan hadiah-hadiah kepada seorang yang pantas menerima hadiah karena tidak mengenalnya, bukan merupakan perbuatan dosa. Menceraikan istri yang berzina juga tidak salah. Bahkan wanita yang serong itu dapat dihukum (dipukuli) sementara suaminya tidak berdosa. Orang yang memahami cara penggunaan air soma dengan sebaik-baiknya, tidak berdosa apabila memperdagangkannya. Memberhentikan seorang pelayan yang mampu memberikan pelayanan tidak mengakibatkan dosa. Itulah semua perbuatan yang tidak menimbulkan dosa. Sekarang mari kita tinjau perbuatan-perbuatan yang memerlukan penyucian total secara lebih mendetail. (Mahabharata, Santi Parwa XXXIV).

Dari satu bagian Santi Parwa saja kita dapat mengetahui berbagai aturan dalam kehidupan, apalagi dari seluruh isi Mahabharata, segala aturan kehidupan ada disana.

Santi Parva lengkap dapat dibaca disni http://www.sacred-texts.com/hin/m12/index.htm (Berbahasa Inggris).

[1] Mengerjakan kewajiban yang bukan kewenangannya

[2] Sedekah kepada pendeta/Brahmana

[3] Guru kerohanian

[4] Dalam ajaran Hindu ada istilah Pancanrta, lima jenis kebohongan yang dibenarkan, “Kata-kata yang diucapkan pada waktu bermain-main, kata-kata yang diucapkan untuk menyelamatkan jiwa dan menyelamatkan harta, kata-kata yang diucapkan terhadap perempuan waktu dalam percumbuan, kata-kata yang diucapkan dalam hal-hal diatas jika ternyata bohong, dapatlah dianggap sebagai dosa yang tidak besar” [Slokantara 69 (22)].

[5] Mimpi basah tidak berdosa akan tetapi onani/masturbasi dianggap perbuatan berdosa

[6] Wanitanya yang berdosa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline