Lihat ke Halaman Asli

I Ketut Merta Mupu

Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Bila Dua Kitab Suci Bertentangan

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1355198237650869239

Om Namah Shiwa Ya

Dalam tulisan kali ini membahas tentang menyikapi perbedaan/pertentangan dari dua kitab suci Hindu yaitu kitab Manawa Dharmasastra dan kitab Arthasastra (Kautilya Arthasastra) tentang perzinahan.

[caption id="attachment_213882" align="aligncenter" width="577" caption="Struktur Veda (Sumer/stahdnj.ac.id)"][/caption]

Pendahuluan

Perkembangan teknologi informasi dewasa ini semakin canggih dan mempermudah pekerjaan manusia. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa setiap perkembangan teknologi pasti akan menghadirkan ekses dan dampak negatif bagi masyarakat.

Penyimpangan nilai-nilai agama telah merajalela terutama penyimpangan seks. Penyimpangan seks banyak terjadi dalam bentuk perzinahan. Setiap negara yang penduduknya memiliki agama dan penganut suatu kepercayaan secara nyata. Perzinaan adalah ilegal dan diberikan sanksi terhadap pelakunya.

Perbuatan zinah dikatakan sebagai sumber kehancuran dan perbuatan zina dianggap melakukan perkawinan kembali, seperti disebutkan didalam Manawa Dharmasastra VIII.353 “Dengan perzinahan menimbulkan kelahiran warna campuran antara manusia; kemudian dari itu menimbulkan dosa yang akhirnya memotong ke akar-akarnya dan menyebabkan kehancuran dari segalanya”, selanjutnya Manawa Dharmasastra V.163 menyebutkan bahwa “Wanita yang berzina dengan seorang laki-laki dari golongan lebih tinggi, dengan meninggalkan suaminya sendiri yang dari golongan rendah akan menjadi tercela dalam hidup di dunia ini dan dinamai wanita yang kawin lagi walau hanya berzina”

Zina menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah Persetubuhan yang dilakukan oleh bukan suami istri. Sedangkan Wikipedia memberikan definisi bahwa zina (bahasa Arab) zanah (bahasa Ibrani) adalah perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan). Secara umum, zina bukan hanya di saat manusia telah melakukan hubungan seksual, tapi segala aktivitas-aktivitas seksual yang dapat merusak kehormatan manusia termasuk dikategorikan zina.

Kata zina, kata yang sepadan didalam Hukum Hindu yaitu Paradara yang artinya istri orang lain,  yang dimaksud dengan paradara ialah setiap perbuatan yang kurang senonoh terhadap istri oang lain. Yang dianggap sebagai perbuatan perzinahan tidak saja hubungan seks diluar perkawinan/pernikahan yang sah. Pemberian hadiah terhadap istri atau suami orang lain juga dikatakan sebagai perbuatan perzinahan.

Paradara sangat ditonjolkan pada Jaman Majapahit karena pandangan orang – orang Nusantara atau Hindu Majapahit adalah bahwa kesejahteraan umum sangat tergantung pada ketentraman dan kesejahteraan keluarga (istri kususnya), oleh karena itulah setiap usaha untuk mengacaukan keluarga orang lain adalah perbuatan yang sangat terlarang, bahkan dalam Undang-Undang Agama (UU Majapahit) dimuat pelarangan bagi lelaki atau pria untuk berbicara ditempat-tempat yang sepi dengan wanita yang telah bersuami.  Perbuatan tersebut disebut dengan istilah Stri Sanggrahana artinya : menjamah istri orang lain.

Didalam kitab-kitab suci Hindu banyak terdapat sloka yang mengatur zina terutama diatur didalam kitab Manawa Dharmasastra dan Arthasastra. Isinya mulai dari pengaturan istri keluar rumah, istri bepergian dengan orang lain, tentang pemerkosaan, pemberian hadiah, dan lain sebagainya.

Pengaturan tentang zina tampaknya berbeda-beda antara kitab yang satu dengan kitab yang lain. Seperti perbedaan pengaturan tentang zina didalam kitab suci Arthasastra dan Manawa Dharmasastra. Tidaklah mengherankan apabila Hitopadesha menyatakan “meskipun banyak kitab suci bertentangan dalam banyak hal akan tetapi tetap sepaham dalam satu hal, yaitu tidak menyakiti adalah agama yang tertinggi”.

Apabila terjadi pertentangan antara kitab yang satu dengan kitab yang lainnya tentu hal ini akan membingungkan hakim dalam mengambil keputusan suatu perkara. Sloka mana yang harus digunakan hakim dalam memutuskan suatu perkara, dalam hal ini perkara perzinahan. Sedangkan sloka-sloka yang terdapat didalam kitab suci adakalanya bertentangan. Apabila terjadi pertentangan antara kitab yang satu dengan kitab yang lainnya, lalu bagaimana kita menyikapinya?

Sloka-sloka perzinahan

Dalam tulisan ini dikutip beberapa sloka-sloka perzinahan dari kitab Manawa Dharmasastra dan Arthasastra.

Kautilya Arthasastra, IV.3.59.21 mengklasifikasi perzinahan sebagai berikut “Jika istri pergi ke suatu tempat rahasia ditengah-tengah perjalanannya atau jika ia menemani, dengan maksud seks, seorang pria yang akan dicurigai atau dilarang, itu dikenal sebagai perzinahan” sedangkan Manawa Dharmasastra menyebutkan bahwa “Memberi pemberian kepada seorang wanita, bergurau dengannya, memegang pakaiannya dan hiasannya, duduk di tempat tidur dengannya, semua perbuatan ini dianggap perbuatan zina (Manawa Dharmasastra VIII. 357).

Selanjutnya Arthasastra menyebutkan “Jika pria dan wanita, yang terlarang, saling memberi hadiah berupa barang kecil, dendanya dua belas pana (akan dikenakan), jika barang besar, (dendannya) dua puluh empat pana, jika dari emas atau uang, dendanya tiga puluh empat pana untuk wanita, dua  kali lipat untuk pria”. (Kautilya Arthasastra, III.3.59.30). “Ia yang bercakap dengan istri orang lain di tempat petirtaan diluar desa, di hutan atau dipertemuan dua sungai diancam dengan ancaman hukuman karena berzina” (Manawa Dharmasastra VIII.356). “Bila seseorang menyentuh wanita dibagian yang tidak harus disentuh atau membiarkan seseorang menyentuh bagian itu, semua perbuatan itu dilakukan dengan persetujuan bersama, dinyatakan sebagai perbuatan berzina” (Manawa Dharmasastra VIII.358).

“Jika pria dan wanita, dengan harapan untuk melakukan hubungan seks, menggunakan gerak kaki atau secara rahasia mengadakan percakapan yang tidak sopan (percakapan yang bernada porno), denda untuk wanita adalah dua puluh empat pana, dua kali lipat untuk pria (48 pana)” (Kautilya Arthasastra, III.3.59.25). “Bagi yang menyentuh rambut, ikatan pakaian bawah, gigi, kuku. Dendanya terendah untuk kekerasan (akan dikenakan), dua kali lipat untuk pria. Dan dalam hal percakapan ditempat yang mencurigakan, hukuman cambuk bisa diganti dengan denda dalam pana. (Kautilya Arthasastra, III.3.59. 26-27)

Dari uraian sloka diatas, pada dasarnya tidak terjadi pertentangan, hanya saja Arthasastra memperjelas pemberian sanksi dengan denda dan juga memperjelas lagi bentuk-bentuk perbuatan yang dikategorikan perzinahan. Dari kedua kitab tersebut sloka satu dengan yang lainnya saling mengisi.

“Jika ( istri ) meninggalkan rumah suami, pergi ke desa lain, denda adalah dua belas pana maupunkehilangan pemberian dan perhiasan” (Kautilya Arthasastra, IV.3.59.16). “Atau jika ia pergi ditemani pria dengan siapa memungkinkan dilakukan hubungan seks, denda akan dua puluh empat pana dan kehilangan semua hak, kecuali pemberian nafkah dan pendekatan selama masa itu” (Kautilya Arthasastra, IV.3.59. 17).

“Selanjutnya mengenai perzinahan dengan wanita: laki-laki yang melakukan perzinahan dengan istri orang lain, raja menghukumnya dengan hukuman yang menakutkan dan kemudian membuangnya” (Manawa Dharmasastra VIII.352).

Seorang seperti itu dahulu dipersalah berbuat kesalahan yang bercakap-cakap dengan istri seseorang dengan sembunyi-sembunyi, diancam dengan hukuman denda yang terendah. (Manawa Dharmasastra VIII.354)

“Seorang bukan Brahmana diancam dengan hukuman mati karena perbuatan berzina, karena istri dari keempat warna itu harus dijaga benar-benar” (Manawa Dharmasastra VIII.359).

Dari sloka-sloka diatas, tampak terjadi pertentangan diantara kitab suci Manawa Dharmasastra dan Arthasastra. Pertentangan tersebut terutama dalam menjatuhkan sanksi bagi pelaku perzinahan.

Selanjutya pada sloka dibawah ini tentang pengecualian perbuatan yang pada mulanya dianggap sebagai perbuatan zina, namun bagi orang tertentu dianggap bukan sebagai perbuatan zina, seperti sloka berikut;

“Dalam hal ada pertalian darah tidak akan dihukum” (Kautilya Arthasastra, IV.3.59.19). “Jika ada larangan, separuh denda (diatas) (akan dikenakan pada pria)”(Kautilya Arthasastra, IV.3.59.20).

“Tetapi orang yang bicara dengan wanita seperti di atas dengan beralasan, tidak bersalah, karena tidak ada pelanggaran baginya“ (Manawa Dharmasastra VIII.355).

Seorang bhiksuka, penyanyi, seorang diksita dan seniman tidak dilarang bercakap-cakap dengan istri orang lain. (Manawa Dharmasastra VIII.360)

Tak seorangpun bercakap-cakap dengan istri orang lain setelah ia dilarang berbuat demikian, tetapi ia bercakap-cakap dengan mereka sedangkan ia sudah dilarang berbuat demikian didenda sebanyak satu suwarna (Manawa Dharmasastra VIII.361)

Peraturan ini tidak berlaku bagi istri-istri seorang aktor atau penyanyi pun juga tidak bagi istri yang melakukan hubungan rahasia karena laki-laki demikian yang mengirim istri mereka untuk orang lain, menyembunyikan mereka, mengizinkan mereka melakukan persetubuhan rahasia. (Manawa Dharmasastra VIII.362).

Menyikapi Perbedaan Ketentuan Dari Dua Kitab

Dari bunyi sloka-sloka didalam Manawa Dharmasastra dan Arthasastra diatas, tampak perbedaanantara sloka Manawa Dharmasastra dengan Arthasastra terutama pemberian sanksi. Namun di sisi lain, dari kedua kitab tersebut saling melengkapi. Yang menjadi permasalahan kemudian, bagaimana kita menyikapi apabila terjadi perbedaan antara kitab yang satu dengan yang lain?.

Hal tersebut sebenarnya bukan suatu masalah, karena didalam Manawa Dharmasastra dinyatakan bahwa “bila dua kitab Sruti bertentangan satu dengan yang lainnya, keduanya diterima sebagai hukum karena keduanya telah diterima oleh orang-orang suci sebagai hukum” (Manavadharmasastra II.14). Pada sloka tersebut dapat disimpulkan bahwa antara sloka yang satu tidak menghapuskan ketentuan sloka lain, namun hal ini berlaku bagi kitab Sruti (Veda Wahyu), lalu bagaimana dengan kitab dibawah Sruti? Ternyata hal ini juga berlaku bagi kitab-kitab dibawah Sruti, seperti dinyatakan didalam Kutara Manawa.

Pada pasal 109 kitab Kutara Manawa dijelaskan bahwa "Kerbau atau sapi yang digadaikan setelah lewat tiga tahun, leleb sama dengan dijual menurut undang-undang Kutara, menurut undang-undang Manawa baru leleb setelah lewat lima tahun. Ikutilah salah satu karena kedua-duanya adalah undang-undang. Tidak dibenarkan anggapan bahwa yang satu lebih baik dari yang lain. Manawa dharmasastra adalah ajaran Maharaja Manu, ketika manusia baru saja diciptakan, beliau seperti Bhatara Wisnu. Kutarasastra adalah ajaran begawan Bregu pada jaman Treptayoga, beliau seperti Bhatara Wisnu, diikuti oleh Rama Parasu dan oleh semua orang ; bukan buatan jaman sekarang, ajaran itu telah berlaku sejak jaman purba".

Dari ketentuan tersebut maka tidak ada ketentuan yang membenarkan adanya sloka yang satu harus dihapus oleh sloka yang lain, melainkan keduanya harus diterima sebagai hukum. Sehingga seorang hakim bisa memilih salah satu ketentuan yang diatur Manawa Dharmasastra atau Arthasastra dan keduanya dapat digunakan untuk memutus perkara.

Meski ada ketentuan seperti diatas, tetapi ada pula ketentuan kitab yang lebih rendah dikesampingkan oleh ketentuan kitab suci yang lebih tinggi serta ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum “lex specialis derogat legi generale”.

Sloka dari kitab suci yang kedudukannya lebih rendah dapat digantikan oleh sloka dari kitab suci yang diatasnya. Misalnya; apabila sloka Veda smerti bertentangan dengan mantra Veda Sruti, maka yang dipergunakan adalah mantra veda sruti. Urutan sumber-sumber hukum hindu didalam Manawa Dharmasatra disebutkan sebagai berikut:

”Idanim dharma pramanamyaha: vedo ’khilo dharma mulam smrti sile ca tad vidam, acarasca iva sadhunam atmanas tustir eva ca” (Manavadharmasastra II.6).

Arti :

Veda adalah sumber dari segala Dharma, yakni agama, kemudian barulah Smrti, disamping Sila (kebiasaan atau tingkah laku yang baik dari orang yang menghayati dan mengamalkan ajaran Veda) dan kemudian Acara yakni tradisi-tradisi yang baik dari orang-orang suci atau masyarakat yang diyakini baik serta akhirnya Atmanastusti, yakni rasa puas diri yang dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan kutipan sloka di atas, kita mengenal sumber-sumber hukum Hindu menurut kronologisnya seperti berikut :

1.Veda (Sruti).

2.Smrti (Dharmasastra).

3.Sila (tingkah laku orang suci).

4.Acara (Sadacara).

5.Atmatusti (Amanastuti).

Dari uraian diatas, menurut kitab Manawa Dharmasastra, Veda Sruti merupakan norma dasar dalam Hukum Hindu. Hirarkhi sumber hukum Hindu diatas sejalan dengan pemikiran Hans KelsenKelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm). Sehingga, norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar)” (Russel Butarbutar, 2012: www.kompasiana.com).

Dilihat dari hirarkhi sumber hukum tersebut diatas, Manawa Dharmasastra termasuk kitab Dharmasastra yang berkedudukan dibawah Sruti. Sehingga sudah jelas kedudukannya sangat strategis dibandingkan dengan kitab-kitab lain. Kitab Dharmasastra memiliki otoritas kedua dibawah sruti. Lalu bagaimana dengan kitab Arthasastra?.

Arthasastra digolongkan ke dalam kitab Upaweda (Itihasa, Purana, Ayurweda, Arthasastra, dll). Kitab ini ditulis oleh Kautilyadan Viṣhṇugupta,yang secara tradisional diidentifikasi sebagai Cāṇakya (c. 350–283 BC), seorang sarjana di Takshashila dan kemudian menjadi perdana menteri Kemaharajaan Maurya. Identifikasi Kautilya atau Vishnugupta dengan perdana menteri Maurya, Chānakya, akan menentukan masa penulisan Arthaśāstra sekitar abad ke-4 SM. Meski demikian, kesamaan dengan berbagai Smrti dan kitab referensi lainnya akan menimbulkan anakronisme sehingga kemungkinan Arthaśāstra ditulis dari abad ke-2 hingga ke-4 M.

Saya berpendapat bahwa Arthasastra merupakan sebuah kitab suatu kerajaan jaman dahulu. Sehingga kitab ini dapat digolongkan ke dalam kitab hukum suatu kerajaan. Mungkin kedudukannya sama seperti kitab-kitab hukum yang dibuat semasa kerajaan di Nusantara. Seperti Kutara Manawa “kitab perundang-undangan majapahit” yang ditulis ketika masa pemerintahan Majapahit. Dimana kitab-kitab kerajaan tersebut selalu merujuk pada kitab-kitab diatasnya (terutama Sruti dan Smerti).

Atas dasar pertimbangan tersebut, apabila terjadi pertentangan antara kitab Manawa Dharmasastra dengan Arthasastra maka Manawa Dharmasastra yang berlaku. Hal ini juga diperkuat apabila dilihat dari isinya. Isi Arthasastra terutama perihal hukum, banyak mengutip isi kitab Dharmasastra kemudian ditambahkan komentar-komentar menurut kepentingan Negara dimana kitab ini ditulis. Dengan demikian kitab Arthasastra lebih rendah kedudukannya daripada Manawa Dharmasastra.

Om Shantih, Shantih, Shantih Om

I Ketut Mertamupu

www.kompasiana.com/mertamupu.co.id

Baca Pula Tulisan Lain:

Mulai 2013, Harga Barang Akan Turun Drastis?

Perbuatan Buruk Wanita di Jaman Kali

Sembahyang Malam,Lebih Mudah Terkabul




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline