Lihat ke Halaman Asli

I Ketut Merta Mupu

Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Wanita Pembawa Berkah Perkawinan

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13479552851945515712

Om Namah Shiva Ya, Shiva Ya Namah Om

[caption id="attachment_199544" align="aligncenter" width="188" caption="Perkawinan Suci Mendapat Anugerah dari Leluhur dan Para Dewa (religiousportal.com)"][/caption]

Wanita dalam pandangan Hindu disimbolkan sebagai dewi. Kata “wanita” bersinonim dengan kata “perempuan”, perempuan memiliki arti orang yang dihormati, “yang dimuliakan”.

Wanita yang menikah kelak akan menjadi Ibu, Ibu disimbolkan sebagai Ibu Pertiwi (Bhumi) tempat kita berpijak, sedangkan ayah disimbolkan dengan sanghyang akasa (langit) sebagai junjungan kita. Langit dan Bhumi adalah Ibu Bapa dan kita adalah anak-anaknya. Oleh karenanya kita wajib hukumnya menjaga bhumi dan langit dari berbagai kerusakan. Apabila bhumi dan langit rusak maka kehidupan mahkluk hidup terancam. Ini merupakan keterkaitan antara makrokosmos (bhuana agung) dengan mikrokosmos (bhuana alit).

Dalam pandangan agama tertentu, wanita diciptakan dari rusuk lelaki, dengan kata lain wanita kedudukannya lebih rendah dari lelaki. Namun dalam pandangan Hindu wanita dan lelaki sama-sama muncul dari Tuhan. Perwujudan Tuhan dalam bentuk lelaki dan perempuan disebut Ardhanareswari, dengan kata lain wanita dan lelaki berkedudukan yang sama dengan wujud yang berbeda namun saling melengkapi. Didalam Lontar Padma Bhuana dinyatakan :

Yan ring Siwa, mangga Siwa Uma, yan ring Budha mangga adwaya adwayajnana, Sanghyang prajna parimitam. Ida paragyan Ardhanareswari, maraga rwa bhineda, akasa pratiwi, sor lawan luhur, toya aghni, pasuk wetu, pradhana purusa, akretti prakretti, rumaga bapebu, sakala niskala (Padma Bhuwana, 2b).

Artinya: Apabila dalam ajaran Siwa, berwujud Siwa Uma, bila dalam ajaran Budha berwujud adwaya adwayajnana, Sang hyang prajna parimitam. Beliaulah wujud Ardhanareswari, berwujud Rwabhineda, langit bumi, bawah dengan di atas, air api, masuk keluar, pradhana purusa, prakretti, berwujud bapak ibu, sekala niskala (IB Wika Krishna,2003: WHD No. 442 Desember 2003).

Dalam paham siwaisme Bhatara Siwa merupakan bapak bagi seluruh alam semesta dan Dewi Uma/parwati adalah Ibu bagi alam semesta beserta isinya. Wanita/Ibu yang baik harus menjadikan Dewi Uma/parwati sebagai suri tauladan. Dimana lila (permainan Tuhan) telah dikisahkan dalam berbagai purana, khususnya bagi paham siwaisme kisah suri tauladan diuraikan didalam Siwa Purana.

Wanita dianggap ujung tombak kebahagian sebuah keluarga, sehingga bila menghendaki keluarga yang bahagia, kitab suci mengharuskan semua orang menghormati wanita. ‘dimana wanita dihormati, disana para dewa merasa senang, ritual keagamaan menjadi berpahala, sebaliknya dimana wanita disakiti keluarga itu pasti hancur, dihancurkan oleh kekuatan gaib” (Manu Smerti). Untuk merealisasikan tujuan tersebut, bukan hal yang mudah. Untuk menjadikan wanita sebagai manusia yang dihormati perlu adanya didikan bagi kaum wanita, dimulai sebelum ke jenjang perkawianan, menuju perkawinan yang “suci”. Perkawinan suci merupakan penyebab berlimpahnya berkah, berlimpah rezeki. Selain karena banyak doa yang diucapkan oleh kerabat keluarga saat dilangsungkan perkawinan namun yang lebih penting lagi adalah anugerah dari leluhur serta anugerah dari Tuhan.

Leluhur menganugerahkan berkah kepada mempelai, khususnya wanita hal ini disebabkan orang yang menikah harapannya akan melahirkan keturunan yang akan menyelematkan roh-roh yang menderita di neraka (lihat Anak Penyelamat Leluhur dari Siksa Neraka). Selain itu pula didalam Manu Smerti dinyatakan bahwa ritual keagamaan hanya akan berpahala apabila dilaksanakan oleh pasangan suami istri. Dengan kata lain ritual keagamaan yang dilaksanakan oleh orang yang belum menikah tidak akan berpahala. Oleh sebab itu perkawinan menjadikan sesuatu yang sangat berarti.

Namun sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa perkawinan adalah sumber penderitaan, hingga tidak jarang seseorang takut untuk menikah. sebagian pula ada yang beranggapan bahwa perkawinan adalah anugerah. Hal ini tidak terlepas dari peranan wanita.

Didalam kitab suci veda dinyatakan bahwa mempelai wanita membawa berkah bagi keluarga, namun realita banyak perkawinan justru menjadi sumber penderitaan bagi keluarga. Lalu apa yang salah dari pernyataan kitab suci?.

Perkawinan yang ideal adalah perkawinan suci, perkawinan suci artinya perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan Hukum Agama. Demikian sebaliknya, perkawinan yang tidak membawa berkah merupakan perkawinan yang dilaksanakan menyimpang dari Dharma, misalnya perkawinan yang telah ternodai dengan seks diluar nikah. Apalagi di jaman post modern seiring semakin meningkatkatnya pergaulan bebas yang menyebabkan semakin tingginya seks diluar nikah. Ternyata disinilah sumber kontradiksi pernyataan kitab suci. Hanya pernikahan yang suci sebagai pembawa berkah.

Menurut informasi yang pernah saya baca, berdasarkan survey di Amerika remaja wanita mulai menigkatkan kesadaran untuk menjaga kesuciannya hingga ke jenjang pernikahan. Lalu bagaimana dengan di Indonesia?, semoga hal itu terjadi pula di Indonesia, khususnya Bali.

Tuhan telah menciptakan hukum untuk ditaati, bukan untuk dilanggar, apabila melanggar hukum maka hukum itu pula yang akan menghancurkan pelanggarnya. Ada berbagai bentuk kekuatan ghaib yang menghancurkan para pelanggar hukum, tetapi yang kasat oleh mata adalah dalam bentuk penyakit, seperti kanker serviks, Hiv-Aids yang mematikan yang merupakan akibat dari seks bebas.

Kembali pada topik, didalam kitab Canakya Nitisastra dinyatakan bahwa Dewi Laksmi menjauh dari orang-orang yang nafsu seksnya “tidak terkendali”, oleh karena penguasa kemakmuran adalah dewi laksmi, itu berarti kemakmuran menjauh dari orang-orang yang nafsu seksnya tidak terkendali, dengan kata lain seks yang salah penyebab kemiskinan, namun seks yang benar merupakan sumber kemakmuran. Tidaklah salah apabila beberapa orang beranggapan perkawinan itu menakutkan, sebab adalah realita sekarang perkawinan dilaksanakan menyimpang dari ajaran Dharma, yang tidak jarang perkawinan menjadi sumber masalah dan berujung pada penderitaan.

Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan wanita memiliki peranan penting dalam mendapatkan anugerah dari leluhur dan Tuhan, sehingga apabila perkawinan dari seorang wanita yang suci akan membawa berkah bagi keluarga.

Lebih jauh dinyatakan pula bahwa nafsu seks wanita delapan kali lebih kuat daripada lelaki, oleh karenanya wanita memiliki peranan penting untuk menjaga kesucian agar tercapainya perkawinan yang suci. Selain dengan berpakaian yang berdasarkan kaidah-kaidah agama, tentunya yang jauh lebih penting adalah mejaga kesucian diri dari dalam.

Om Tat Sat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline