Potensi Kreatif Mahasiswa
Oleh : Merly Erlina
Mahasiswa sebagai agent of change yang saat ini dituntut untuk memberikan dampak perubahan dalam masyarakat terkait dengan tri dharma perguruan tinggi yang meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat. Namun, seiring dengan perkembangan sebuah informasi teknologi hal tersebut tampaknya mulai menurun sebagai culture atau budaya sebuah peradaban mahasiswa. Penurunan dalam keadaan tersebut tentunya menjadikan ancaman bagi Indonesia dalam memperbaiki kualitas pendidikan dalam perguruan tinggi.
Pentingnya pengembangan kreativitas pada mahasiswa dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, kreativitas memungkinkan mahasiswa untuk memiliki cara berpikir yang inovatif dan terbuka terhadap gagasan baru. Dengan memiliki pola pikir yang kreatif, mahasiswa dapat menghadapi masalah yang kompleks dan menemukan solusi yang inovatif. Kedua, kreativitas juga memungkinkan mahasiswa untuk mengekspresikan diri secara lebih efektif. Dengan cara ini, mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan komunikasi yang baik, dan membantu mereka berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Untuk memahami hakikat kreativitas, pertama-tama ada gunanya membedakan potensi kreatif, pencapaian kreatif, dan bakat kreatif (Barbot & Lubart, 2012a; Besançon dkk., 2013). Potensi kreatif adalah kemampuan terpendam untuk menghasilkan karya orisinal dan adaptif yang merupakan hasil dari kombinasi unik dari sumber daya seseorang yang berperan dalam karya kreatif, termasuk aspek motivasi, kognisi, dan kepribadian (Lubart, 1999; Lubart et al., 2013; Sternberg & Lubart, 1995). Secara khusus, kombinasi unik ini menghasilkan berbagai potensi kreativitas mulai dari potensi rendah hingga tinggi tergantung pada kesesuaian antara sumber daya yang dimiliki (Lubart et al., 2013). Potensi yang dimiliki seseorang bisa mengarah pada prestasi jika orang tersebut mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Pencapaian kreatif mengacu pada produksi aktual dari keluaran kreatif yang telah diakui sebagai kreatif oleh sebagian masyarakat. Sedangkan bakat kreatif mengacu pada kecenderungan untuk menghasilkan karya kreatif secara berulang-ulang (Besançon et al., 2013).
Menurut pendekatan komponensial terhadap kreativitas, potensi kreatif mencerminkan pertemuan beberapa sumber daya yang berbeda, namun saling terkait (Sternberg & Lubart, 1995). Sumber daya dalam diri seseorang termasuk faktor biologis dan genetik (Barbot, Tan, & Grigorenko, 2013; Kaufman, Kornilov, Bristol, Tan, & Grigorenko, 2010), aspek kognisi seperti pemikiran divergen (Guilford, 1950); atau pemikiran metaforis (Tan, Barbot, Mourgues&Grigorenko2013), dan aspek konasi (faktor kepribadian, motivasi dan emosional) seperti kemauan untuk mengambil risiko dan terbuka terhadap ide dan pengalaman baru, sambil menoleransi situasi dan rangsangan yang ambigu (Besançon dkk., 2013). Sumber daya dalam diri seseorang lainnya mencakup pengetahuan yang relevan dengan tugas yang diperlukan di setiap area konten tertentu seperti penulisan kreatif (Barbot, Tan, Randi, Santa-Donato, & Grigorenko, 2012). Terakhir, sumber daya tingkat lingkungan mengacu pada aspek budaya atau lingkungan sosial. Singkatnya, potensi kreatif mengacu pada kombinasi tertentu antara individu dan kontekstual sumber daya yang berperan dalam pekerjaan kreatif termasuk aspek motivasi, kognisi, dan kepribadian.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka komponen kepribadian dan motivasi sebagai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kreativitas khususnya potensi kreatif. Peran kepribadian dalam kreativitas telah lama dibahas (Barron, 1969; Feist, 1998; Gough, 1979; MacKinnon, 1965; Nezcka & Hlawacz, 2013). Berbagai penelitian yang mengeksplorasi hubungan antara kepribadian dan kreativitas telah sampai pada temuan yang bertentangan ( Burch, Pavelis, Hemsley, & Corr, 2006; Feist, 1998; King, Walker , & Broyles, 1996). Big Five Personality adalah salah satu konsep kepribadian yang dipelajari dalam konteks kreativitas (Feist, 1998; Kwang & Rodrigues, 2002; McCrae, 1987; Wolfradt & Pretz, 2001). Inventarisasi Big Five Personality mencakup lima dimensi kepribadian yaitu Openness, Conscientiousness, Ekstraversion, Agreeableness, dan Neurotisisme (John, Donahue, & Kentle, 1991; John & Srivastava, 1999).
Tipe kepribadian keterbukaan untuk pengalaman (openness) adalah sifat yang paling konsisten dikaitkan dengan kreativitas (Feist, 1998; Batey, Chamorro-Premuzic, & Furnham, 2010; Da Costa, Páez, Sánchez, Garaigordobil, & Gondim, 2015). Keterbukaan terkait dengan kinerja pada berbagai ukuran pemikiran divergen (Furnham & Bachtiar, 2008; King, Walker, & Broyles, 1996). Sangat mudah untuk melihat bahwa keterbukaan mungkin mencerminkan gaya kognitif yang lebih fleksibel yang memungkinkan seseorang untuk mengatasi kemantapan dan menghasilkan solusi yang unik (Feist, 1998). Tipe kepribadian keterbukaan untuk pengalaman terbukti memiliki hubungan yang posistif dengan kreativitas (Batey, Chamorro Premuzic dan Furnham (2010), Furnham, Hughes dan Marshall (2013), Hughes, Furnham dan Batey (2013), Karkowski dkk. (2013), Kaufman dan Beghetto (2013), Silvia dkk. (2014), Stok, von Hippel dan Gillert (2016), Kaspi-Baruch (2017))
Selain kecerdasan, ciri-ciri kepribadian, sikap, dan gaya kognitif, motivasi juga merupakan faktor individu penting dalam kreativitas. Menurut Self-Determination Theory (Ryan dan Deci, 2000b) menyatakan bahwa motivasi terdiri dari motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Diklaim ada hubungan yang positif antara kreativitas, motivasi intrinsik, dan efikasi diri (Artola dkk 2012; Guilford, 1968; Runco, 2014). Hal ini diharapkan bahwa orang lebih cenderung menjadi kreatif ketika mereka termotivasi secara intrinsik, misalnya, oleh minat, kesenangan, kepuasan, dan tantangan tugas itu sendiri, lebih dari tekanan eksternal dan imbalan (Amabile, 1996)
Secara khusus, motivasi intrinsik yang merupakan komponen kreativitas intra-individu yang penting (Amabile, 1996), telah lama dianggap sebagai faktor kunci yang merangsang kreativitas. Liu dkk (2016) berpendapat bahwa peran motivasi intrinsik dalam mempengaruhi kreativitas sebagai kekuatan motivasi, yang memunculkan rasa ingin tahu, minat, dan kegembiraan dari tugas yang ada. Zhang dan Bartol (2010) juga berpendapat bahwa individu yang termotivasi secara intrinsik cenderung terlibat dalam proses kreatif, termasuk identifikasi masalah, serta generasi ide kreatif dan evaluasi.
Tierney dan Farmer (2002) mengusulkan ide Efikasi Diri Kreatif (Creative Self Efficacy) berdasarkan studi efikasi diri dan teori kreativitas, dan berpendapat bahwa tidak seperti efikasi diri lain yang mencakup emosi seperti harga diri dan kepercayaan diri dalam arti luas. Efikasi diri kreatif adalah tentang mengambil risiko dan membuat upaya yang diperlukan untuk kreativitas. Efikasi Diri Kreatif lebih berorientasi pada kemampuan untuk mengevaluasi kinerja aktivitas kreatif seseorang.