Lihat ke Halaman Asli

Merlia Metsa Riyani

Mahasiswa Reguler Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Peran Ibnu Sina dalam Ilmu Medis

Diperbarui: 9 Desember 2021   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Syaikh Abu Ali al-Husain Ibn Sina (Ibnu Sina) adalah salah satu ilmuwan islam yang banyak dikenal masyarakat umum. Beliau merupakan seorang dokter, filsuf, dan ilmuwan islam yang lebih dikenal juga dengan nama panggilan Avicenna ataupun “the father of modern medicine in the middle ages”. Beliau lahir pada tahun 370H di desa Afsana, Persia (kini Uzbekistan). Ayahnya bernama Abdullah yang merupakan seseorang yang dihormati pada masa pemerintahan Dinasti Samaniyah. Namun ibunya, Setareh, berasal dari Bukhara sehingga Ibnu Sina dibesarkan di sana.


Dengan pencapaian yang begitu besar, siapa sangka ternyata Ibnu Sina mempelajari semua nya sendiri alias otodidak. Sejak kecil beliau sudah dikenal karena kecerdasan dan daya ingatnya yang kuat. Hal ini terbukti saat beliau mempelajari aritmatika dari seorang pedagang sayuran asal India di pasar dan telah menghafal Al-Qur’an pada usia 10 tahun. Selain itu, Ibnu Sina sudah memulai mempelajari ilmu kedokteran di usia 16 tahun dengan membaca berbagai buku dan mempraktekkannya kepada masyarakat yang kurang mampu di desa. Berdasarkan pengalamannya tersebut, beliau banyak menemukan metode dan juga obat-obatan baru hingga memperoleh status sebagai seorang dokter di usia 18 tahun. Semua pasien diobati secara gratis hingga beliau menjadi tenar di tahun 997. Ketenarannya pun menyebar dengan cepat hingga sampai ke telinga penguasa Samaniyah, Nuh II, yang memanggil untuk menyembuhkan penyakitnya hingga diberi akses untuk mempelajari buku-buku yang ada di perpustakaan Dinasti Samaniyah.
Salah satu karyanya, Al-Qanun atau The Canon of Medicine, buku yang memuat ilmu-ilmu kedokteran umum. Buku ini pernah menjadi buku standar universitas-universitas di Eropa hingga akhir abad 17 M. Di dalam buku tersebut juga memuat berbagai penyakit dan obat-obatan sederhana yang masih digunakan dalam dunia kedokteran hingga saat ini. Ibnu sina adalah penemu pengobatan dengan menyuntikkan obat ke bawah kulit dan juga berbagai parasit penyebab penyakit seperti cacing ancylostoma / cacing lingkar dan cacing filaria penyebab elephantiasis. Selain itu, Ibnu sina juga membagikan cara pengobatan pada kerongkongan yang tercekik dimana sebuah pipa udara yang terbuat dari emas dan perak akan dimasukkan ke dalam mulut untuk membuka jalan napas. Cara tersebut masih digunakan hingga saat ini dan alat ini juga dipergunakan oleh para dokter anaesthesia untuk memasukkan gas bius dan oksigen ke pasien, namun alatnya terbuat dari karet atau plastik.


Di samping penyakit fisik, beliau juga mendalami penyakit kejiwaan. Menurutnya, sakit bukan hanya disebabkan oleh fisik, melainkan kejiwaan yang terganggu. Beliau membahas masalah kejiwaan jauh sebelum dibahas oleh Carl Jung dan Sigmund Freud termasuk di antaranya adalah halusinasi, insomnia, demensia, dan vertigo. Berdasarkan pengalamannya, Ibnu Sina pernah mengobati seorang pangeran muda bernama Gurgan di daerah laut kaspia. Tidak ada satupun yang dapat mengobati penyakitnya ini, hingga sampailah di tangan Ibnu Sina. Beliau langsung memeriksa denyut nadi dan meminta kepada orang yang berada di sana untuk menyebutkan nama-nama kota di provinsi tersebut. Sampai di suatu ketika keluar satu nama kota dan menyebabkan denyut nadi pangeran berdetak lebih kencang. Berdasarkan pemeriksaannya ini dapat diketahui bahwa ternyata pangeran jatuh cinta pada gadis yang tinggal di wilayah tersebut.


Hal yang menariknya lagi, Ibnu Sina juga melakukan protokol kesehatan seperti pandemi saat ini. Peristiwa tersebut terjadi pada saat Ibnu Sina dan muridnya pergi menemui seorang ulama yang bernama Al-Biruni. Ulama tersebut langsung menyambut kedatangan Ibnu Sina untuk memeluknya, namun beliau menolak dan meminta air untuk mencuci tangan dan wajah mereka. Ibnu Sina meyakini di daerah wabah harus dilakukan kebersihan untuk menghilangkan mikroorganisme. Beliau pun berpesan kepada sahabatnya untuk menghadapi wabah dengan perasaan suka cita dan kegembiraan karena dengan sikap mental yang optimis akan lebih cepat merespons pengobatan dibandingkan dengan pasien panik. Rasa takut yang signifikan akan melemahkan imunitas atau kekebalan tubuh. Beliau juga menyampaikan kata mutiaranya bahwa serba khawatir adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh pengobatan, dan kesabaran adalah awal dari kesembuhan.


Ternyata islam melalui Ibnu Sina juga sudah mengajarkan kita untuk bersabar dan menghadapi kondisi wabah atau pandemi seperti saat ini dengan optimis dan menjalankan semua protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus. Semoga dengan adanya artikel ini dapat bermanfaat dan menumbuhkan rasa optimis dalam menghadapi kondisi pandemi COVID-19. Selain itu, kita juga dapat mencontoh kemandirian dan kegigihan Ibnu Sina dalam mempelajari ilmu medis hingga dapat bermanfaat untuk orang di sekitar dan bahkan dunia.


Salam,
Mahasiswa Beasiswa Cendekia Baznas 

REFERENSI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline