Lihat ke Halaman Asli

Merkyana Nancy Sitorus

Pejalan Pemerhati

NKRI Harga Mati

Diperbarui: 17 Agustus 2016   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Sumber foto dari malukupost.com"][/caption]

"…kaum intelegensia Indonesia mempunyai tanggungjawab moril terhadap perkembangan masyarakat. Apakah ia duduk di dalam pimpinan negara dan masyarakat atau tidak, ia tidak akan terlepas dari tanggung jawab itu.” Mohammad Hatta (Tanggung Jawab Moril Kaum Intelegensi, 1966)

Kesempatan anak bangsa untuk menjadi kaum intelegensia saat ini lebih luas daripada pada jaman perjuangan kemerdekaan dulu. Sudah banyak yang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional, entah itu olimpiade sains, debat sosial, bahkan kesempatan untuk mendapatkan beasiswa untuk belajar di negara-negara maju saat ini juga jauh lebih banyak. Putra-putri Indonesia sudah banyak menunjukkan hasil karyanya di panggung internasional.

Lalu, bagaimana dengan panggung nasionalnya? Panggung nasional Indonesia juga membutuhkan putra-putri terbaik dari bangsa ini. Sedemikian bergengsinya penghargaan internasional tersebut, sehingga lupa sama Ibu Pertiwi? Cukup miris saat saya menghitung dari beberapa orang teman-teman sebaya saya yang bernasib baik menempuh pendidikan di negara-negara maju, mayoritas memillih untuk bekerja, berkeluarga dan berdomisili disana. Kenapa? Banyak alasan. Mulai dari merasa nyaman dengan atmosfir pergaulan dan gaya hidup di sana sampai karena memang ditawari pekerjaan dengan fasilitas dan kemudahan yang lebih dari memadai.

Tapi, kalau secara personal menanyakan kepada mereka, sebenarnya mereka juga rindu untuk kembali ke tanah air. Merasakan kembali air dari tanah kelahirannya, hidup dan berdekatan dengan keluarga besarnya. Ya namanya juga tanah kelahiran. Pasti selalu terkenang. Dan menurut saya, yang mereka butuhkan adalah sebuah alasan yang kuat untuk meninggalkan zona nyamannya mereka di negara asing tersebut dan kembali ke tanah air. Contohnya panggilan dari Presiden untuk menjadi pembantunya dalam menjalankan pemerintahan.

Motivasi untuk memenuhi panggilan tersebut beragam, bisa karena memang rindu tanah air dan berkumpul dengan keluarga besar, bisa juga karena nasionalitas untuk membangun negeri, atau juga prestise. Dipanggil pulang oleh seorang Presiden gitu loh! Apapun, alasan-alasan di atas adalah hal yang manusiawi.

Dalam perjalanannya, rekor masa jabatan menteri terpendek telah dibuat di NKRI. Status kewarganegaraan sang menteri yang menjadi pemicunya. Pendapat, spekulasi dan solusi mulai dilemparkan ke khalayak ramai. Pro dan kontra mulai bermunculan. Hal ini terjadi menjelang peringatan pembacaan Proklamasi, mengingatkan saya pada pelajaran sejarah tentang kisruh sebelum detik-detik pembacaan Proklamasi, yang menandai kemerdekaan NKRI.

Kemerdekaan itu yang menimbulkan hak kewarganegaraan Indonesia terhadap siapapun yang lahir dan besar di tanah air Indonesia, lahir dan dibesarkan orangtua Indonesia dimanapun ia berada, atau yang menundukkan diri terhadap kewarganegaraan Indonesia. Hal ini menjadikan kewarganegaraan Indonesia adalah mutlak hasil dari tumpah darah, derita, keringat dan kerja keras para pendahulu, para pejuang dan kaum intelegensia kita. NKRI harga mati.

Perkembangan jaman, perjalanan hidup dan kebutuhan personal seseorang memang menawarkan banyak pilihan. Kehendak bebas dari manusia adalah hal yang paling agung dan azasi. Untuk itu, diperlukan adanya aturan norma dan hukum agar tidak terjadi konflik kepentingan antara manusia satu dengan lainnya. Tentang kewarganegaraan ini telah diatur bahwa warga negara Indonesia yang mengajukan dan mendapatkan kewarganegaraan asing dengan sendirinya gugur kewarganegaraan Indonesia nya. Apabila yang bersangkutan ingin kembali menjadi warga negara Indonesia, maka dia harus membatalkan kewarganegaraan asingnya dan mengajukan kewarganegaraan Indonesia, dengan proses 5-10 tahun berdomisili di Indonesia.

Lengsernya sang menteri memang sangat disayangkan, mengingat bekal ilmu dan pengalamannya sangat berguna buat kepemimpinannya sebagai menteri. Muncul pernyataan untuk Indonesia dapat membuat sebuah pengecualian, karena kalau dibiarkan maka putra-putri terbaik Indonesia akan dirampok oleh negara asing. Negara yang sehat adalah negara yang tidak hanya harus berdaulat ke luar, tapi wajib untuk berdaulat ke dalam. Akan sangat tidak relevan pengecualian tersebut di mata internasional. Juga putra-putri "terbaik" Indonesia baru dapat dikatakan terbaik jika cinta terhadap tanah airnya.

Di samping itu muncul pula wacana tentang kemungkinan diakuinya kewarganegaraan ganda untuk warga negara Indonesia yang menetap di luar negeri. Mereka mengeluhkan administrasi yang berbelit-belit karena kurangnya respek internasional terhadap warga negara Indonesia. Bagaimana bisa internasional kurang respek terhadap Indonesia? Bung Hatta menjawab, "Jangan mengharapkan bangsa lain respek terhadap bangsa ini, bila kita sendiri gemar memperdaya sesama saudara sebangsa,merusak dan mencuri kekayaan Ibu Pertiwi".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline