Kepalaku percikan embun di dedaunan pagi hari, yang saban waktu terus ada sekalipun tidak terlihat olehmu sekalipun tidak hal serupa itu yang kamu harapkan.
Sedang kamu menjelma jingga pada langit sore yang kabarnya kudengar ramai dinanti-nantikan setiap orang. Manusia-manusia itu begitu mengagumimu terus dan terus tanpa jeda. Bahkan jika mendung yang bertandang, hadirmu tetap saja terus didamba.
Barangkali mampuku hanya sebatas mendengarmu melalui malam-malam gelap yang panjang, yang meniadakan kamu lalu mengiringi kembaliku.
Perempuan yang kerap resah ini tak sudah-sudah, Tuan. Kamu dinanti-nanti seperti api pada dian yang dinyalakan, yang menerangi juga menghangatkan. Kamu selalu dirindu pada bait-bait lagu yang mengalir sendu.
Tidak cukupkah?
Haruskah kukatakan aku ingin hidup lekat di dadamu, terus dekat dan tak ingin lagi ada sekat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H