Lihat ke Halaman Asli

Merita Dewi

Penulis Amatiran

Seberapa Pentingkah Mengurusi Kesejahteraan Marbut Masjid?

Diperbarui: 18 April 2024   00:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay/hisalman

Berbicara tentang kesejahteraan marbut masjid, jadi ingat bahwa suami saya dulunya juga pernah menjadi seorang marbut semasa menempuh pendidikan di perguruan tinggi. 

Sebelum menjadi marbut, suami saya tinggal di sebuah kontrakan yang berada tidak jauh dari kampus. Saat itu, ia hanya mengandalkan beasiswa bidikmisi untuk biaya kehidupan sehari-hari juga membayar kontrakan. 

Memasuki semester 2, barulah dia mendapat tawaran dari seorang senior untuk menjadi marbut di mushola fakultas. Marbut di mushola fakultas bertugas merawat dan menjaga kebersihan juga kerapian mushola, menjadi muadzin jika tidak sedang ada kegiatan perkuliahan, lalu menjadi imam shalat berjamaah.

Senior yang memberi tawaran tersebut menjelaskan bahwa menjadi marbut di mushola fakultas sifatnya sukarela, jadi tidak mendapatkan insentif. Hanya saja, marbut boleh tinggal di mushola itu secara gratis selama statusnya masih mahasiswa.

Tentu kabar tersebut terdengar membahagiakan bagi suami saya, biaya kuliah sudah ditanggung beasiswa ditambah sekarang diberi peluang tempat tinggal secara cuma-cuma. Tinggal memikirkan biaya untuk hidup sehari-hari dan berbagai penelitian nantinya. 

Tanpa pikir panjang, suami saya menerima tawaran menjadi marbut di mushola fakultas. Kalau tidak salah ada 2 atau 3 orang terhitung suami juga yang dibutuhkan untuk menjadi pengurus mushola. Semuanya wajib berjenis kelamin laki-laki.

"Tidak apa-apa tidak mendapat bayaran, hitung-hitung mencari keberkahan di sana dan diberi tempat tinggal gratis. Bagi anak bidikmisi itu sudah rezeki nomplok karena mesti menjalani hidup yang super irit. Bagaimana tidak, beasiswa tersebut cairnya hanya 6 bulan sekali," begitu penuturan dari suami saya.

Benar saja, sampai beliau lulus tidak pernah ada insentif apapun yang diterimanya sebagai upah sudah mengurusi mushola. Tapi, kalau makanan masih bisa dibilang seringlah ada saja di mushola pemberian dari orang-orang baik yang umumnya mahasiswa juga.

Saya cukup tertegun mendengar sekilas cerita beliau saat menjadi marbut di mushola tersebut, pasalnya di mushola fakultas saya marbutnya mendapatkan bayaran. Fakultas memberikan upah sebagai tanda terima kasih sudah berkenan mengurusi mushola di tengah kesibukan kuliah, meski saya tidak tahu berapa nominal pastinya. Saya dan suami berasal dari kampus yang sama tetapi beda fakultas. 

Selain itu di masjid universitas, para marbutnya juga mendapatkan imbalan berupa uang tunai dan beras. Entah langsung diberikan oleh kampus itu sendiri atau pihak DKM (Dewan Kemakmuran Masjid). 

Saya merasa haru sekaligus miris sih jika mendengar kabar atau berita-berita marbut yang tidak mendapatkan upah sepersen pun seperti halnya suami. Jikapun tidak bisa sampai menyejahterakan kehidupannya, setidaknya minimal ada sedikit bayaran dalam bentuk rupiah yang diberikan untuknya sebagai imbalan atas jasanya. Karena ada tenaga dan waktu yang telah dikorbankan demi kepentingan khalayak ramai. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline