Aya, nama panggilan putri pertama kami yang saat ini sedang lucu-lucunya. Januari 2024 lalu, saya bersama suami memboyong Aya mengunjungi rumah kakek dan neneknya di Serdang Bedagai, Sumatera Utara naik bus selama lebih kurang 20 jam.
Untuk pertama kalinya putri kami menempuh perjalanan jauh jalur darat di usinya yang baru menginjak 9 bulan. Di bus, ia tak banyak bertingkah paling merengek sekadarnya karena lapar, mengantuk atau sesekali bosan.
Sesampainya di rumah nenek, Aya jadi sering rewel. Menurut saya karena kecapekan di jalan ditambah lagi belum terbiasa dengan suasana dan orang-orang baru yang ditemuinya.
Lain lagi kata orang-orang di sana, Aya jadi rewel dan terus-terusan menangis karena kami tidak membawa air juga tanah dari rumah asal. Ke depan jika akan bepergian jauh lagi, kami disarankan untuk membawa 2 barang tersebut supaya anak tidak rewel.
Saya dan suami tidak mengiyakan pun tidak pula membantahnya, karena yang mengatakan hal tersebut para orangtua dengan pemahamannya yang masih primitif. Jadi kami juga agak malas jika sampai terjadi perdebatan.
Beberapa hari stay di sana, Aya jatuh sakit. Awalnya hanya diare, setelah dibawa berobat bukannya membaik malah ketambahan demam. Dari pengamatan saya juga melihat giginya baru akan tumbuh dibarengi dengan gusi yang membengkak.
Malam harinya sekitar pukul 23.00 WIB, kami berinisiatif menerapkan metode skin to skin di gendongan sang ayah untuk menurunkan panas demamnya Aya. Kami biasa menerapkan metode ini jika Aya demam karena habis imunisasi atau yang lainnya.
Belum sampai 10 menit, saya dan suami dikejutkan dengan Aya yang tiba-tiba kejang. Tubuhnya mendadak kaku lalu mata mendelik ke atas, tampak seperti kehilangan kesadaran dan kesulitan bernapas.
Seketika saya menjadi amat sangat panik, namun tetap berusaha mengusai diri. Saya sangat khawatir dan ketakutan sampai tak kuasa menahan tangis melihat kondisi Aya yang sedang kejang. Pikiran saya sudah kacau, takut sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada buah hati kami.
Di tengah kekalutan itu, saya masih mampu mengingat penanganan pertama yang harus dilakukan ketika anak kejang. Saya baringkan Aya di tempat yang datar, kemudian tubuhnya saya miringkan sambil terus mengelus punggung dan memanggil namanya dengan lembut dengan harapan agar ia cepat tersadar.
Ayahnya juga tak kalah cemas di tengah situasi itu, dia sampai meminta tolong kepada orang tuanya untuk memanggilkan nakes yang rumahnya tidak jauh dari kami. Tidak ada faskes terdekat yang dapat kami kunjungi malam itu, jikapun ada lokasinya jauh dan tidak buka 24 jam. Begitulah situasi di kampung.