Satu Tahun Tanpa Ayah: Kenangan, Kerinduan, dan Kepergian yang Mendadak
Tepat satu tahun lalu, dunia saya seakan berhenti berputar. Tanggal yang seharusnya biasa saja, berubah menjadi hari yang terpatri abadi dalam ingatan, hari di mana saya kehilangan sosok terpenting dalam hidup saya, Ayah. Kepergiannya yang begitu mendadak, tanpa tanda-tanda sakit sebelumnya, meninggalkan luka yang tak akan pernah benar-benar sembuh.
Beberapa minggu sebelum kepergian Ayah, saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan saya di Jakarta. Entah dorongan dari mana, rasa rindu yang teramat sangat kepada Ayah tiba-tiba menyeruak, mendorong saya untuk pulang ke rumah. Saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama beliau, mengobrol, bercanda, dan menikmati kebersamaan yang selama ini terhalang jarak.
Keputusan saya untuk pulang ternyata adalah anugerah yang tak ternilai. Tiga minggu saya habiskan bersama Ayah di rumah, masa-masa yang kini menjadi kenangan paling berharga. Kami mengisi hari-hari dengan kegiatan sederhana, seperti memasak bersama, berkebun, atau sekadar duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi. Setiap detik terasa begitu berharga, seolah-olah alam semesta memberi saya kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.
Namun, takdir berkata lain. Pagi itu, sekitar jam 5 pagi, Ayah membangunkan saya. Dadanya terasa sakit, katanya, rasa sakit yang menjalar hingga ke belakang. Saya segera memijat punggungnya, berharap rasa sakit itu akan mereda. Namun, kondisinya tidak membaik. Saya memutuskan untuk membawa Ayah ke puskesmas terdekat.
Dengan tergesa-gesa, saya membonceng Ayah dengan sepeda motor menuju Puskesmas Laja. Sesampainya di sana, Ayah langsung dibawa ke ruang pemeriksaan. Dokter meminta beliau berbaring agar bisa diperiksa lebih lanjut. Saya membantu membuka jaket Ayah, berharap bisa mempermudah pemeriksaan.
Namun, saat itulah semuanya terjadi. Di depan mata kepala saya sendiri, Ayah menghembuskan napas terakhirnya. Dunia saya runtuh seketika. Rasa sakit yang tak tertahankan menusuk jantung saya. Air mata mengalir deras, tak mampu saya bendung. Kehilangan Ayah begitu tiba-tiba, begitu menyakitkan.
Hari-hari setelah kepergian Ayah adalah hari-hari terberat dalam hidup saya. Rumah yang dulu selalu ramai dengan canda tawa Ayah kini terasa begitu sepi. Setiap sudut rumah menyimpan kenangan akan beliau, membuat rasa rindu semakin menyiksa. Saya sering termenung, memandangi foto-foto Ayah, mencoba mengingat setiap detail wajahnya, suaranya, dan pelukan hangatnya.
Satu tahun telah berlalu, namun rasa sakit itu masih terasa segar. Saya masih sering menangis saat mengingat Ayah. Namun, saya belajar untuk menerima kenyataan bahwa beliau telah pergi. Saya berusaha untuk melanjutkan hidup, menjalani hari-hari dengan sebaik mungkin, seperti yang selalu Ayah ajarkan.
Kini, setiap kali saya merasa rindu, saya akan mengunjungi makam Ayah. Saya akan duduk di samping pusaranya, bercerita tentang apa saja yang terjadi dalam hidup saya, seolah-olah beliau masih ada di sana, mendengarkan saya. Saya yakin, Ayah selalu ada di sisi saya, dalam hati saya.
Kepergian Ayah mengajarkan saya banyak hal tentang hidup, tentang arti kehilangan, dan tentang betapa berharganya waktu yang kita miliki bersama orang-orang terkasih. Saya belajar untuk tidak menunda-nunda kebahagiaan, untuk mengungkapkan rasa sayang kepada orang-orang terdekat, dan untuk menghargai setiap momen yang kita miliki.