Lihat ke Halaman Asli

Panggung Sandiwara tentang Jokowi dan Prabowo

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dunia ini panggung sandiwara
Cerita yang  mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani
(Ahmad Albar).


Beberapa hari lalu saya membuat status di facebook dengan sebuah kalimat singkat: benarkah dunia ini panggung sandiwara?

Komentar sahabat fb begitu beragam dan mungkin sekedar berkomentar karena belum tahu apa yang sedang saya pikirkan. Seorang dosen senior di sebuah Perguruan Tinggi berkomentar seperti ini; memang ada apa Pak Bambang?

Saya belum sempat menjawabnya. Sekarang saatnya saya  menguraikan tentang "sebagian" panggung sandiwara yang saya lihat di seputar persaingan Capres Jokowi vs Prabowo. Berikut beberapa panggung sandiwara yang saya lihat:

1. Tahun 1999 Amien Rais melalui Poros Tengah berhasil mendudukkan Gus Dur sebagai Presiden, dan Megawati sebagai Wapres. Di tengah jalan, Amien Rais mempelopori agar Gusdur turun tahta dan mendukung Megawati menggantikan Gusdur. Amien-Mega menjadi sahabat yang baik. Belum lama ini Amien Rais melontarkan gagasan Hatta sebagai cawapres Jokowi. Gagasan ini kurang mendapat tanggapan positif dari Megawati. Selanjutnya Amien Rais dkk berjuang agar Hatta sebagai Capres Prabowo, dan berhasil. Saya bayangkan, seandaikan Hatta menjadi cawapres Jokowi, kampanye presiden gaya Amien tentu berbeda. Ia sebagai tokoh reformasi sangat mungkin akan berbicara begini; jangan pilih Capres yang menjadi musuh reformasi. Sekarang Amien berada di belakang Prabowo-Hatta untuk bersaing dengan Jokowi-JK. Anda bisa melihat bagaimana dia berkampanye sekarang.Begitulah, seperti kata Ahmad Albar;  dunia ini panggung sandiwara, cerita yang mudah berubah.

2. Alkisah, Mahfud MD sangat berminat menjadi Cawapres mendampingi Capres Jokowi. Di detik-detik terakhir  Jokowi memutuskan Jusuf Kalla  sebagai Cawapresnya. Mahfud lantas memutuskan untuk menjadi pendukung Prabowo. Mahfud mengatakan mendukung prabowo karena platformnya sama. Lho, apa bedanya platform PDIP dan Gerindra? Bukankah sebelumnya Mahfud ingin mendampingi Jokowi karena platform, dan visi misi yang sama? Jika politik ini lebih karena ideologi, tentunya PDIP yang layak bekerjasama dengan Gerindra. Namun soal like and dislike serta keinginan untuk menjadi nomor satu, keduanya memilih berdiri sendiri-sendiri. partai-partai berbasis Islam memilih untuk bergabung ke Nasionalis.

3. Wiranto sebagai mantan Panglima TNI lebih memilih Jokowi daripada Prabowo. Simpel saja membaca alasannya, yakni ada sejarah pertentangan di era lengsernya Soeharto, yang mungkin hingga sekarang mungkin belum sirna. Sementara Hari Tanoe lebih memilih Prabowo karena di groupnya Jokowi ada Surya Paloh, yang  sempat bersitegang dengannya ketika keduanya sama-sama di Nasdem. Ini juga bukan soal platform yang sama, bukan pula kecocokan visi misi. Ini soal like & dislike, yang menjadi panggung sandiwara.

4. Rekan aktivis PKS beberapa bulan lalu sempat menuduh Hatta sebagai simbol Neolib. Sebagian juga  suka memaki-maki tokoh Golkar melalui facebook. Sekarang semuanya berubah, mereka menyatu dalam satu barisan. Entahlah kalau nanti di pemerintahan. Yang saya lihat tidak ada chemistry yang sama dari PKS, Golkar, Demokrat dan juga Gerindra. Ya, namanya juga panggung sandiwara, cerita yang  mudah berubah.

5. Posisi SBY dalam batas tertentu mudah ditebak. Ia terbiasa berhati-hati sekali dalam mengambil keputusan (Ia lebih sering tampil sebagai akademisi yang banyak pertimbangan dibanding sebagai militer yang cepat bergerak). Saking hati-hatinya, meskipun ia berjanji nanti tanggal sekian akan mengambil keputusan, nyatanya belum juga mengambil keputusan. Selanjutnya ia mengambil keputusan netral. Sulit bagi SBY untuk bergabung dengan Jokowi karena sikap Megawati masih kurang "bersahabat". Netral juga tidak, karena Hatta  sebagai besan perlu mendapat dukungan.

Tampaknya, kali ini politik lebih didominasi soal like and dislike. Isu SARA ditiup untuk kepentingan jangka pendek, yaitu untuk tujuan kemenangan mencapai presiden. Masyarakat dibuat untuk saling mencaci di media sosial. lebih menyedihkan lagi  kampanye yang dibawakan oleh kelompok tertentu sengaja atau tidak, mengandung fitnah. Padahal, mereka semua paham, Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

Ya sudah, kecerdasan pemimpin kita baru sebatas itu. Kedewasaan pemimpin kita juga sebatas itu. Mereka bergabung ke sana ke sini karena tujuan kekuasaan. Mereka mengobarkan kritik keras ke pihak Joko, karena sedang berada di pihak Bowo. Begitu pun sebaliknya. Setelah Juli, cerita mungkin sudah berbeda. Ini Bukan soal platform, bukan pula ideologi, bukan pula agama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline