Demonstrasi adalah keniscayaan dalam iklim demokrasi. Demonstrasi digelar ketika aspirasi rakyat, selaku Pemberi Mandat Kekuasaan, diabaikan oleh Pemegang Mandat Kekuasaan (Pemerintah). Dalam demokrasi, pemegang kekuasaan tertinggi adalah Rakyat, sehingga apa yang dihendaki rakyat, itulah yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
Ketika Pemerintah (baik Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) abai atas kehendak rakyat, maka rakyat dapat menggunakan haknya untuk menuntut aspirasi melalui cara demonstrasi. Dalam esklasi yang lebih luas dan masif, demonstrasi dapat berubah menjadi People Power. Itu bisa terjadi kalau Pemerintah benar-benar bebal dan acuh.
Jadi kalau kembali ke teori demokrasi, Demo 4 Nop 2016 besok tidak ada hubungannya dengan Pilkada DKI, bukan masalah Warga Keturunan, bukan dalam rangka memecah belah bangsa, bukan masalah anti perbedaan, apalagi main-main dengan isu SARA. Demo 4 Nop terjadi karena ada sebagian Rakyat Indonesia yang merasa keyakinannya dinistakan.
Kebetulan saja yang menistakan adalah Warga Keturunan, Nasrani, dan salah satu peserta Pilgub DKI. Kalaulah ada sebagian Rakyat Indonesia yang merasa tidak ada penistaan dalam kasus tersebut, silahkan saja. Mau membuat Demo tandingan untuk membebaskan pelaku dari tuntutan penistaan, silahkan juga.
Kalau Indonesia benar negara demokrasi, maka setiap anak bangsa berhak menyuarakan pendapatnya. Sehingga, baik yang pro maupun kontra atas kasus ini, kedua belah pihak sama-sama berhak untuk melakukan aksi demonstrasi. Jadi, amat sangat disayangkan apabila ada upaya-upaya penggembosan aksi tanggal 4 Nop besok.
Mulai dari isu Demo tersebut dibiayai oleh peserta Pilgub lawan, dalam rangka menjegal kepesertaan Ahox di Pilgub, karena Warga Keturunan tidak boleh menjadi gubernur, karena Ahox bersih dan anti korupsi, sampai isu ditunggangi ISIS. Belum lagi upaya-upaya taktis seperti memanggil tokoh2 organisasi Islam, meminta dukungan Prabowo Subianto, ancaman tembak ditempat, ancaman pemecatan PNS yang ikut demo, bahkan sampai menekan perusahaan2 angkutan untuk tidak mengangkut peserta demo dari daerah-daerah.
Semua itu dilakukan oleh Pemerintah untuk mengantisipasi Demo 4 Nop. Pertanyaannya, Kenapa? Apakah Indonesia sudah bukan negara Demokrasi? Apakah Indonesia bukan lagi tempat Supremasi Hukum?
Demonstrasi bukan sesuatu yang terlarang. Bukan juga sesuatu yang melanggar hukum. Tuntutan dalam Demonstrasi 4 Nop juga masih dalam koridor dan ranah Hukum. Demonstran hanya meminta proses secara hukum perkataan Ahok yang dinilai menistakan keyakinan umat Islam. Demonstran tidak menuntut penjarakan Ahok, gantung Ahok, usir Ahok, cambuk Ahok dst.
Demonstran hanya meminta ada proses peradilan yang digelar untuk memproses Ahok secara hukum. Biarkan pengadilan yang memutuskan, bersalah atau tidak. Kalau bersalah akan dihukum apa. Pemerintah jangan sampai gagal fokus, lebih mengkhawatirkan Demo berikut dampaknya, dibanding fokus kepada Kenapa sampai terjadinya Demo. Kalau Indoensia benar2 negara Hukum, maka Pemerintah harusnya menyerahkan kasus ini ke Pengadilan, bukan melindungi Ahok dari menjalani proses hukum. Karena yang dapat memutuskan Ahak melakukan penistaan atau tidak, bukan Presiden, Menteri, Anggota DPR, Ketua Partai, Polisi, atau Jaksa, tetapi Pengadilan.
Kalau Pemerintah melalui Polri tidak mengulur-ulur proses penyidikan, tentu berkas sudah dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan proses penuntutan, sehingga Hukum bisa ditegakkan. Hukum ibarat timbangan, untuk dapat menimbang dengan baik, harus diletakkan tegak lurus. Kalau Pemerintah menegakkan hukum saja tidak mau, bagaimana mau menjamin tercipta keadilan bagi rakyatnya.
Jangan sampai keadilan harus mencari jalannya sendiri. Jangan sampai aparat negara berhadapan dengan rakyatnya sendiri hanya demi satu orang. Apabila itu terjadi, maka Indonesia telah menjadi kuburan bagi Demokrasi dan Supremasi Hukum.