...
Level kecerdasan manusia sedemikian lebarnya, mulai dari Jenius mutlak sampai Lemot mutlak. Meski korelasi antara level kecerdasan dengan kesuksesan seseorang terbukti tidak terlalu signifikan, namun kecerdasan yang tinggi, paling tidak sudah separuh dari modal untuk sukses. Saparuh lagi bisa ditentukan oleh perencanaan, kerjakeras, teamwork, timing, dan positif thinking.
Karena kecerdasan bukan satu2nya faktor untuk sukses, kecerdasan yang biasa2 saja masih bisa dikompensasi dengan meningkatkan kontribusi faktor penentu sukses lainnya. Itulah mengapa, secara empiris, orang2 yang berhasil dalam bisnisnya kebanyakan bukanlah mereka2 yang cemerlang secara akdemik. Mereka sukses karena mereka mampu mengoptimalkan kerjakerasnya, atau kerjasamanya, atau jeli melihat peluang yang ada.
Demikian pula sebaliknya. Kecerdasan yang tinggi akan sia2 saja jika tidak diiringi kemauan bekerja atau pemikiran dan kemauan yang positif.
Dalam seleksi/rekruitmen personil level manajerial, seringkali kita lihat faktor IQ tidak terlalu jadi pertimbangan yang utama. Yang lebih diprioritaskan mungkin kemampuan leadership, problem solving, goal achievement, dan sejenisnya.
Singkat kata, dalam situasi dan kondisi tertentu, intelligence doesn't matter. Memang ada sektor2 dunia kerja yang mensyaratkan kecerdasan yang tinggi secara mutlak, seperti bidang rekayasa, engineering, riset, atau intelijen. Namun bidang2 ini adalah pengecualian dari kondisi umum, sehingga tidak dapat digeneralisir hingga kemudian dikatakan intelligence does matter.
Sehingga, apabila ditanya: haruskah orang-orang cerdas/jenius yang bisa menjadi menteri? Jawabnya bisa iya bisa tidak. Iya, karena BJ Habibie terbukti gemilang memimpin Kementrian Ristek/BPPT. Tidak, karena Akbar Tanjung terbukti mampu menjabat menteri 3 periode berturut2 di departemen yang berbeda :-).
Jadi silahkan saja apabila Presiden mau memilih menterinya orang yang jenius, cerdas, atau IQ pas-pasan. Ibarat perusahaan, menteri adalah level top management, yang bertanggungjawab langsung pada owner. Selayaknya level manajerial, maka yang dibutuhkan lebih pada leadership, problem solving, dan goal achievement. Artinya, Presiden punya derajat toleransi yang luas terkait level kecerdasan seseorang yang akan dipilih sebagai menterinya.
Sekarang mari kita bicara tentang kewarganegaraan. Kewarganegaraan adalah dimensi yang berbeda 180% dengan kecerdasan. Harusnya tidak ada toleransi dalam dimensi ini ketika menyangkut jabatan pemerintahan atau politis. Tidak ada ruang untuk mentolerir warga negara asing menjadi pejabat tinggi negara. Jangankan pejabat tinggi negara...menjadi seorang Aparatur Sipil Negara (dahulu PNS) golongan terendah saja syarat pertamanya adalah WNI. Ini masalah persyaratan formal. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 TAHUN 2008 tentang Kementerian Negara menyebutkan: Untuk dapat diangkat sebagai menteri, seseorang harus memenuhi persyaratan a. Warga Negara Indonesia (...).
Jadi, jangan terjebak dengan dimensi kecerdasan hingga mengabaikan syarat formal yang ditentukan oleh Undang-undang untuk pengangkatan seorang menteri. Terlepas bahwa Arcandra Tahar lahir di Indonesia, suku minang asli, muslim, dan cinta tanah air, syarat tetaplah syarat yang harus dipatuhi dan dipenuhi. Legalkan dulu status kewarganegaraan nya sebagai WNI, baru angkat sebagai menteri. Apabila benar Amerika tidak mau mencabut kewarganegaraan yang dimiliki Arcandra, maka kita semua harus rela untuk memilih menteri ESDM selain Arcandra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H