Lihat ke Halaman Asli

Bicara tentang Dua Puluh Tujuh Tahun

Diperbarui: 13 Januari 2023   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku ga inget, apakah dulu aku termasuk anak yang mendambakan kedewasaan agar lekas merasakan kebebasan?

Terkadang, sekelibat pikiranku berandai-andai, coba saja waktu itu ada yang memberitahuku bahwa menjadi dewasa itu tidak mudah, tapi pasti bisa aku lalui. 

Terkadang juga, sekelibat pikiranku melayang, apakah diri ini tak pantas untuk dicintai oleh orang asing? Orang asing yang kemudian dengan ikhlas menerimaku dan percaya, bahwa aku lah belahan jiwanya. Terakhir aku jatuh cinta, kemudian aku dijatuhkan dengan imajinasiku sendiri, "cinta sepihak."

Dan akhir-akhir ini, kedua pikiran itu berkolaborasi, dan muncul sekilas tentang pernyataan,  mungkin inilah momentum yang tepat untuk aku lebih mengenal diriku sendiri, mencintai tanpa berharap banyak, mencintai dengan penerimaan yang utuh, hingga jika tiba masa aku terpaksa sendirian, aku cukup berdiri dengan Tuhanku saja. 

---

Dua puluh lima tahun, adalah masa krisis mental pertama di usia dewasa (semoga yang terakhir juga). Sebagai seorang perempuan yang punya beberapa mimpi, namun tidak seluruhnya berjalan sesuai dengan harapan. Di masa itu, aku sempat merasa tidak berguna, padahal aku sempat meninggalkan karya, yang meskipun tak semua orang tau, dan aplikasi itu sekarang sudah hilang. Ya, tak berbekas. Sayang ya?

Dua puluh enam aku mulai menemukan kesenangan batin, karena aku menemukan konsep "jodoh" yang agak lain, pekerjaan pertama yang ajaib. Jika dulu masa SMA adalah masa penemuan jati diriku,  maka dua puluh enam tahun adalah masa aku menemukan bakat yang selama ini terpendam. Rasanya seperti Tuhan menunjukkan kekuatan superku, yang masih perlu kontrol agar tidak terjerumus ke lubang jebakan. 

Dan menjelang dua puluh tujuh tahun, sejujurnya aku merasa takut akan beberapa hal. Di satu sisi, aku cukup terbiasa bertemu dengan emosi negatif seperti rasa takut. Selain karena sejak kecil aku dipaksa untuk melawan rasa takut, aku juga merasa di usia ini sudah tak sepantasnya menyerah dengan emosi itu. 

Konsep itu sekilas konyol, karena mungkin jarang sekali ada manusia riil melawan emosi negatif dengan mudah. Untuk saat ini, emosi negatif yang sedang kubela adalah perasaan sedih. Kenapa?

Alasan pertama sederhana, karena kita bisa menemukan lawan kata sedih dengan mudah, yaitu? Senang. Meskipun ga yang mudah banget ya untuk menemukan kesenangan batin yang hakiki, setidaknya menyederhanakan emosi di pikiran, cukup membantu kita buat tetap fight dengan problematika kita sebagai orang dewasa. 

Kadang aku merasa ingin menangis tapi tidak keluar. Tidak kubawa tidur, tapi kucoba untuk mengeluarkannya. Sedih? Cobalah untuk menangis. Mudah, kan? Kalau tidak bisa menangis, simple, "mungkin kamu hanya lelah." 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline