Lihat ke Halaman Asli

Stereotip Rasisme Mahasiswa Papua

Diperbarui: 13 Juni 2020   21:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Gambar, Dosen.Com

Kisah berikut merupakan pengalaman nyata yang dialami oleh seorang mahasiswa magister dari Papua yang pernah kuliah di sebuah kampus di Jawa. Kisah ini merupakan satu dari sekian banyak cerita yang mewakili para pejuang sarjana di luar Papua.  

Rasisme ada di mana saja, dalam setiap ruang lingkup kehidupan selalu dijumpai rasisme dengan bentuk yang berbeda-beda.  Di Dunia Kerja, Tempat Pendidikan, sekolah-sekolah, kampus, bahkan dalam Tempat Ibadah pun terjadi praktek Rasisme ini. Setiap orang punya peluang untuk melakukan hal itu. Bahkan saya juga dapat melakukan hal itu baik secara sengaja atau tidak sengaja.

Masih segar dalam ingatan saya terhadap beberapa pengalaman rasisme yang saya alami waktu melanjutkan Studi di luar Papua.
Salah satu kisah ini,  terjadi  di dunia Kampus.
Saya sudah  empat kali kontrak mata kuliah yang diampu oleh Seorang  Dosen yang sama. (Dan saya tidak pernah mendapat nilai bagus, padahal saya yakin bisa mendapat nilai yang lebih baik dari itu).

Kebiasaan beliau (oknum dosen) saat proses perkuliahan adalah ia akan meminta setiap Mahasiswa untuk maju dan mengerjakan atau juga menjelaskan soal yang diberikan. Jurusan yang saya ambil ini dalam satu kelas  tidak pernah lebih dari 20 orang, dan saya yakin Seorang Dosen Pasti akan mengingat wajah dan Nama dari Setiap Mahasiswa yang Hadir.

Selama empat kali Saya Kontrak Mata Kuliah bersama Beliau, Saya tidak pernah sekalipun diberikan kesempatan  untuk maju menjawab soal atau menjelaskan materi.  Dalam beberapa kesempatan beliau juga sempat menyinggung daerah asal. Ada sebuah kejadian di mana semua mahasiswa sudah diminta maju. Dan beliau bertanya "Siapa yang belum maju?", teman yang tepat disamping saya mengatakan bahwa "Kaka  A (inisial)   yang belum maju Pak!" dua kali dia mengatakan begitu dengan lantang. Tetapi tidak ditanggapi.

 Yang dalam pikiran saya saat itu adalah "SEGOBLOK" apapun saya, saya pantas untuk dicoba dengan memberikan kesempatan kepada saya untuk maju ke depan dan mengerjakan soal, toh mereka yang maju juga ada yang cuma berdiri "babingung"  di depan dan tidak mengerjakan apa-apa, bahkan ada teman yang maju dan itu hasil kerja saya yang kemudian saya berikan  kepadanya untuk ditulis kembali ke papan"

Saya menyadari bahwa Otak saya pada saat itu sudah "panas", 'urat di kepala sudah tegang', saya  ini "otak tidak baik", "otak terlalu gila", "terlalu kasar", saya berdiri berarti : "Dosen saya masukkan  di bawah Meja". Timpah saya dalam hati.   Empat kali saya kontrak mata kuliah yang sama  selama empat semester, masa saya tidak pernah mendapat kesempatan walaupun hanya sekali saja?

Saya lalu coba menenangkan diri sendiri dengan mengatakan dalam diri saya: "ko datang jauh-jauh hanya untuk kuliah, datang untuk cari ilmu, jangan bikin masalah, ini orang punya Rumah"

Teman yang di samping saya itu sepertinya sudah takut. Anaknya cukup ramah dan sangat baik, pelan-pelan  dia lalu mengatakan kepada saya "kakak baik-baik saja kan?" jangan marah ya", "saya minta maaf atas kejadian itu, mungkin dosen tidak dengar".

Kejadian ini  selalu saya ingat dan jadikan pelajaran yang berharga dalam hidup saya.
Saya menyadari bahwa jika posisi saya kelak sebagai Dosen tersebut maka saya tegaskan untuk Jangan pernah kita melakukan hal yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline