Lihat ke Halaman Asli

Aku Ikhlas Nikahkan Suamiku dengan Wanita Lain

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bismillah. Niatku sudah bulat. Aku akan carikan wanita lain buat suamiku. Suamiku tercinta, aku mencintainya karena Allah. Mudah-mudahan niatku di ridhoi-Nya. Dan keikhlasanku tidak di salah artikan oleh kaumku, sesama perempuan.

Mencintai suamiku karena Allah adalah keindahan yang agung. Semoga ia pun begitu, mencintaiku semata-mata karena-Nya. Bukan mencintai karena kecantikan dan kemulusan tubuhku semata, karena kecantikan dan kemulusan itu fana, akan memudar seiring bertambahnya usia.

Seperti bunga mawar yang tumbuh dihalaman rumah. Aku selalu merawat dan menjaga cintaku. Memupuki agar selalu terlihat sedap dipandang mata. Hari demi hari senantiasa selalu terbaharui perasaan cinta ku pada suami.

Bahtera rumah tangga yang kami arungi bersama telah membuahkan dua buah hati. Secara ekonomi awalnya, kami hidup pas-pas an. Suamiku berdagang buku-buku agama dan obat-obatan herbal secara keliling. Berkat keuletan dan bakat dagangnya, akhirnya kami bisa mengontrak sebuah kios sederhana yang disulap menjadi toko buku dan obat-obatan herbal ditambah dengan pakaian muslim, barang titipan dari beberapa ibu-ibu teman pengajianku.

Alhamdulillah. Dalam kesederhanaan, cinta kami tumbuh bermekaran. Seiring dengan kemajuan usaha, cinta kami pun semakin semerbak harumnya. Aku bertambah sayang pada suamiku. Dan aku berharap ia pun bertambah sayang kepadaku, seperti do’a yang selalu kupanjatkan pada-Nya.

Sekarang usaha suamiku semakin berkembang. Usaha yang awalnya coba-coba, malah menjadi bisnis utama keluarga kami. Membuat pesanan kubah mesjid dengan bermacam model untuk dikirim ke berbagai daerah. Pesanan membanjir dan hasilnya rejeki kami pun semakin berlimpah. Suamiku lebih sering berkeliling ke berbagai daerah di nusantara karena banyaknya pesanan.

Kasihan dia. Pulang dari daerah sudah langsung ke bengkel las, mengontrol para pekerja agar kubah yang dibuat sesuai dengan pesanan baik ukuran, bahan maupun modelnya. Suamiku tidak ingin mengecewakan pelanggan, karena prinsipnya pelanggan adalah raja.

Keinginan untuk menikahkan suamiku dengan wanita lain, mulanya tidak ditanggapi serius olehnya. Dipikirnya aku cuma cari perhatian saja. Demi Allah, niatku ikhlas. Ikhlas lahir dan batin. Karena bagiku mencintai bukan berarti memiliki atau menguasai. Mencintai adalah memberi. Memberi kebahagiaan pada suamiku itu lebih penting dari pada hanya mengurusi perasaanku saja.

Apakah aku tidak mempunyai rasa cemburu?. Wanita mana sih yang tidak punya rasa cemburu?. Aku mencintainya karena Dia, aku lawan rasa cemburuku dengan banyak bersyukur karena telah diberikan kesempatan untuk menjadi istri dari suami yang baik, yang sayang dan bertanggung jawab seperti Abi.

“Bi, Umi ikhlas kok.” Kataku pada saat suamiku di rumah. “Kalau memang ada yang Abi suka, sebutkan saja orangnya, nanti akan Umi lamarkan.”

“Umi, ini bicara apa sih?.” Kata suamiku mencoba untuk “tidak paham” pada apa yang telah aku katakan.

“Umi kasihan sama Abi, kerja diluar kota sampai beberapa hari, pindah dari satu kota ke kota yang lain.”

“Terus?.” Tanya suamiku sambil mengancingkan baju koko nya.

“Bukankah poligami itu tidak dilarang oleh agama kita, Bi?.”

“Dan Umi rasa secara ekonomi, Insya Allah Abi sekarang lebih siap.”

Suamiku diam saja. Mematut diri di kaca rias, merapikan dandanannya Kebiasaan yang ia lakukan sebelum berangkat ke mesjid.

“Umi pikir lebih baik Abi beristri lagi. Di daerah dimana Abi akan menetap lama disana nantinya akan ada orang yang merawat dan melayani Abi dengan penuh kasih sayang. Dari pada … .”

“Dari pada apa, Mi?.”

“Ah, namanya juga laki-laki… dari pada fitnah. Di tempat yang jauh dari rumah kemudian Abi dekat dengan wanita lain yang bukan haknya. Itu yang Umi khawatirkan, Bi. Kalau sampai itu terjadi, rasanya Umi pun punya andil dalam perbuatan dosa itu.”

“Insya Allah tidak, Mi. Hanya Umi dan anak-anak yang selalu ada dalam pikiran, kalau Abi jauh dari rumah.”

“Bukankah mencegah itu lebih baik, Bi. Siapa sih yang tahu persis kondisi keimanan kita?. Besok atau lusa nanti, apakah iman kita tetap dalam keteguhan?. Namanya juga manusia, Abi pun pasti punya kelemahan dan keterbatasan.” Kataku memberi saran.

“Kalau memang ada wanita lain yang sreg di hati Abi, entah itu teman bisnis Abi atau famili kenalannya Abi atau anak gadis teman bisnisnya Abi, perawan atau janda asal seiman. Umi akan lamarkan buat Abi… Bagaimana, Bi?.” Tanyaku mendesak.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar.” Suara Adzan Maghrib terdengar dari masjid.

“Sudah Maghrib, Mi… Abi ke mesjid dulu.” Kata suamiku sambil berlalu pergi.

Selesai Adzan, aku pun sholat Maghrib di rumah. Dalam sholat aku pun berdo’a ; Ya Allah, kuatkan niatku, lapangkan hatiku, hilangkan rasa cemburuku, gantikan dengan rasa ikhlas dan mahabbah kepada-Mu. Berikan suamiku jodoh wanita  solehah,  yang baik dan sayang serta tulus merawat dan melayani suamiku.”

Selesai merapikan mukena dan sajadah, aku pun menyiapkan makan malam buat suami dan anak-anak. Sudah mau masuk waktu Isya, suamiku belum balik dari mesjid. Mungkin ia menetap di mesjid sekalian sholat Isya. Tidak seperti biasanya, aku menunggu dengan hati berdebar, apakah aku telah menyinggung perasaannya? Ya Allah, kalau memang itu yang telah aku lakukan, sepulangnya nanti aku akan meminta maaf padanya.

Sudah lewat lama waktu Isya, suamiku pun belum balik ke rumah. Ku tunggu sampai jam 10 malam, mau aku sms tapi terpaksa ku batalkan karena hp suamiku tertinggal dirumah. Apakah ia marah?, Apakah ia kesal karena desakanku?. Perasaan sedih berkecamuk. Jujur, aku ikhlas, Bi. Apakah ia telah menyalah artikan maksud baikku? Astagfirullah, aku terlalu memaksakan kehendakku sendiri… .

Sudah lewat jam 12 malam, aku masih sulit tertidur. Suamiku belum balik kerumah. Ya, sudah larut malam. Lampu kamar ku matikan. Sebelum mengejapkan mata, batinku pun memohon. Ma’afkan aku, Bi, karena aku sangat sayang pada Abi makanya aku ikhlas jika Abi mau menikah lagi.

Tanpa sepatah katapun pembicaraan tentang rencana pernikahan itu. Paginya, suamiku pamit untuk pergi ke Balik Papan, mungkin minggu depan baru kembali. Aku mencium lengan suamiku, lalu pipinya kemudian diikuti oleh kedua anak kami mencium lengan Abinya.

*****

Pagi ini terasa sepi sekali. Bukan karena Abi tidak di rumah. Tapi karena dari semalam sampai tadi pagi sebelum berangkat, Abi begitu dingin. Tak ada canda atau cerita seperti biasanya. Selesai mengantar anak-anak ke sekolah. Aku cuma bermalas-malas di kamar. Mau masak atau mengerjakan pekerjaan rumah, rasa nya segan sekali. Mungkin dengan menyalakan TV, hatiku akan sedikit terhibur. Aku pun bangkit ke arah TV.  Mataku tertuju pada sebuah kotak dan selembar surat yang ada di atas TV.

“Assalamu’alaikum. Ma’af, Mi… baru sempat Abi belikan kalung perak kesukaan Umi. Kalung perak yang sudah lama Umi inginkan. Kemarin waktu Abi ke Jogja, Abi sempatkan ke kota Gede, pusat pengrajin perak. Abi jadi ingat waktu kita baru menikah dulu Umi pernah bilang, ‘Gak usah, kalung emas, Bi. Mungkin mahal harganya, kalung perak juga gak apa-apa, Keindahannya tetap saja akan menambah kasih sayang Abi pada Umi.

Oh, iya masalah tawaran Umi agar Abi menikah lagi, itu bukanlah hal yang penting. Semalam Abi tahajud dan berharap agar rumah tangga kita menjadi rumah tangga yang sakinah. Fokus kita sekarang adalah anak-anak, bagaimana agar kita bisa memberikan pendidikan yang terbaik buat anak-anak. Ma’afkan Abi yang tidak punya banyak waktu buat Umi dan anak-anak. Hehehehe, mungkin sekarang saatnya Abi jadi Boss, punya asisten yang bisa dipercaya untuk menangani pekerjaan-pekerjaan Abi di daerah. Sedikit demi sedikit nanti akan Abi lepas pekerjaan pada asisten itu. Sabar ya, butuh waktu untuk mewujudkan itu semua. Cinta dan sayang Abi hanya untuk Umi dan anak-anak, anugerah terindah yang Allah berikan… Selamat hari ulang tahun pernikahan kita“

Tanpa terasa, aku menitikkan air mata. Ku baca surat dari suamiku. Setelah itu, kubuka kotak perhiasan. Kalung perak yang indah. Dengan liontin berbentuk dua hati yang saling berkait. Oh, hampir aku lupa, Akhir September ini adalah hari ulang tahun pernikahan ku yang ke 15. Selamat bekerja suamiku, selamat berjuang mencari nafkah demi keluarga. Semoga Allah memberikan pahala yang setimpal untuk Abi, pahlawanku tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline