Lihat ke Halaman Asli

Maling Bugil dan Penasehat Spiritualnya

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengendap-endap dalam temaram lampu, melangkahi ruang demi ruang dalam rumah besar ini. Aku hapal banget setiap sudut dan lekukan di rumah ini. Di pojok kanan ada tangga menuju ke lantai dua. Di situlah Ko Lim, tinggal bersama Enci dan adiknya si Mei Hwa.

Mei Hwa?, gadis yang permah ku suka tapi sekarang ia sudah disekolahkan ke Hongkong oleh Ko Lim. Alasannya agar Mei Hwa tidak bisa berhubungan lagi denganku. Oh,nasib. Tiba-tiba saja bunga cinta yang baru ku tanam dan ku semai sudah hancur berantakan diinjak-injak oleh kuasanya Ko Lim. Ko Lim sepakat dengan Enci, istrinya, mereka bilang : MADESU, masa depan suram kalau Mei Hwa jadi istriku.

Tapi, Ki … kenapa aku mesti bugil begini sih?.

Itu syarat, kalau kamu mau aman. Kata Ki Joko Tolol, penasihat spiritualku.

Ki, saya ini mau maling, bukan mau bikin kalender porno?.

Pokoknya turuti saja perintah Aki!. Kamu harus bugil!.

Ini adalah syarat ‘elmu sirep yang Aki dapatkan dari gurunya Aki, Ki Joko Blo’on. Supaya kamu tetap aman dan tak terlihat oleh seluruh penghuni rumah pada saat kamu maling dirumah Ko Lim.

Degup jantungku berdebar keras, napasku memburu bagai dikejar setan. Jujur saja baru kali ini aku maling. Dan hehehe, baru kali ini juga aku bugil di rumah orang. Aku maling bukan karena butuh duit tapi lebih karena sakit hatiku pada Ko Lim yang telah memisahkan aku dengan Mei Hwa.

Ki, apa benar Mei Hwa suka juga padaku?.

Ki Joko Tolol menerawang ke arah langit-langit rumah, mimik mukanya serius. Mei Hwa gadis baik. Cuma kata itu yang keluar dari  mulut Ki Joko Tolol.

Terus, Ki?. Tanyaku penasaran.

Hei, anak muda, jangan Ge Er!. Setiap gadis yang baik padamu, jangan selalu kau anggap ia suka padamu. Teliti dulu, apakah ia baik karena memang ia orangnya baik dan suka berderma atau memberi atau… . Bentak Ki Joko Tolol padaku.

Atau apa, Ki?.

Atau karena ia kasihan melihat nasibmu.

Aku bukan pengemis, Ki. Gak perlu dikasihani, jelek-jelek begini aku ini kuli bangunan.

Aku yakin Mei Hwa pun suka padaku. Tolong, Ki, bagaimana caranya agar cintaku tak bertepuk sebelah tangan.

Siapa nama nya?, bin siapa?, tanggal lahirnya tahu?, fotonya ada?. Kata Aki nyerocos. Lalu diam kaku dan mulai menerawang ke arah langit-langit lagi.

Waaah!, gak ada orangnya!. Gak ketemu!. Jawab Ki Tolol sambil membuang desah panjang.

Aki nyarinya dimana?.

Di Indonesia lah!, memangnya mau cari dimana?. Sahut Aki kesal.

Ya, terang saja gak ketemu, orang si Mei Hwa nya sudah sekolah di Hongkong!.

Kenapa gak ngomong dari tadi?. Lain lubuk lain belalang, lain sungai lain pula ikannya, ‘elmu penerawangan Aki gak bisa tembus sampai ke sana.

Coba Aki searching di google dulu… . Ketak ketik ketak ketik ketak ketik. Tuh, kan benar si Mei Hwa nya sekarang ada di Hongkong.

Kok Aki bisa tahu?.

Lihat di face book nya, bodoh!. Jawab Aki seenaknya.

Sial!, sebenarnya yang bodoh itu aku atau dia sih. Terus, gimana Ki?.

Ya, gak bisa!.

Kok, gak bisa, Ki?.

Di atas langit masih ada langit, di sini gunung di sana gunung, di tengah-tengahnya ada si Mei Hwa, di sini bingung, di sana pun bingung di tengah-tengahnya ada samudera.

Maksudnya apa, Ki?.

‘Elmu pelet Aki gak bisa ‘nyebrangin samudera. Kejaaauuuuhan, kata Aki putus asa sambil membuang napas panjang.

Begitu ceritanya kenapa aku sampai dendam dengan Ko Lim. Karena dia sudah memisahkan Mei Hwa dariku.

Ya, sudahlah, Ki. Aku mau maling saja di rumahnya si Ko Lim. Tapi, aku ingin si Ko Lim dan seluruh penghuni rumah itu gak ada yang tahu dan gak ada yang bisa melihat aku, Ki. Termasuk si Bruno, anjing herdernya, bagaimana Ki, bisa?.

Mau penuhi syaratnya?.

Apa, Ki?.

Bugil!.

TV plat, DVD player lengkap dengan sound systemnya, uang ratusan lima puluh lembar di laci, kulkas?, wah berat banget angkatnya?. Cukuplah untuk di maling kali ini.

Semua barang-barang aku taruh sementara di halaman belakang. Di balik tembok tinggi sudah menunggu si Blek, teman yang membantuku maling dan nantinya si Blek akan aku kasih upah. Barang-barang ku lempar, menyeberangi tembok. Dibalik tembok, Blek sudah siap menangkapnya. Selesai semua barang-barang kukeluarkan. Aku pun bergegas menuju halaman belakang, mengenakan pakaianku kembali, dengan perantara tali, seperti bajing aku pun melompati pagar rumahnya Ko Lim.

Musik yang ada di lokalisasi pelacuran ini sebenarnya terlalu memekakkan telinga. Tapi, gadis-gadis disini ramah dan baik-baik. Tidak seperti si Mei Hwa. Aneh, aku kok kini jadi benci sama Mei Hwa, cinta bisa merubah suka jadi benci, bayangan wajahnya yang selalu menghantuiku. Persis, sekarang aku menganggap si Mei Hwa itu hantu. Hanya dengan alkohol dan gadis montok di sebelahku yang bisa mengusir hantunya si Mei Hwa.

“Ayo, Blek, habiskan minuman itu!. Kita puas-puasin saja malam ini!.” Kataku pada si Blek.

“Sudah setengah tiang nih!.” Sahut Si Blek mabok. “Kapal goyang, Kapten!, hahahaha… .”

“Blek, gue ngamar dulu ya, gue udah kenyang sama pantat botol, gua mau pantat yang lain, hahahaha….”

“Mantabs, Boss!.” Sahut si Blek sambil mengacungkan jempolnya.

Sambil merangkul si montok, aku berjalan gontai menuju sebuah kamar.

“Hajar terus, bleeeeh!, jangan dikasih ampun!. Hahaha...” Teriak si Blek kepadaku.

“Hahahaha … mantabs, Blek!. Ayolah, kamu masuk juga!.” Pintaku pada si Blek.

“Hahahaha, nyantai dulu, Boss!. Blek masih milih-milih dulu soalnya yang montok sudah sama si Boss, Hehehe yang lain ‘kerempeng semua!.”

Aku sudah tenggelam dipelukan si montok. Si Blek, entahlah?, mungkin dia juga sudah tenggelam dipelukan botol.

Aku sudah bugil menunggu dikasur lepek, di ruang sempit berdinding triplek dengan tambalan koran bekas dan poster Kajol, artis Bollywood. Kajol si hitam manis yang aku juga suka. Eksotis istilah orang bule. Pokoknya setiap gadis cantik di dunia ini, aku suka. Cuma masalahnya, mereka suka gak sama aku?.

Satu persatu gadis montok itu melucuti pakaiannya. Ah, rasanya mahal sekali gadis ini!, Tak sabar pula aku menunggu.

“Hei, apa pula kau ini!.” Teriakku keras.

“Sabar, Bang … ini juga lagi dibuka, hihihihihi… .”

“Nanti habis waktunya!.”

“Over time lagi aja, Bang, hihihihihihi… .”

“Over time-over time, memangnya gratis?!.”

Wow, gadis montok itu tanpa selembar benangpun menantang di depanku. Aku manjakan saja mataku, kasihan setiap hari cuma melihat semen, batu bata, pasir, kayu-kayu, dan teman-teman kuli bangunan yang dekil-dekil dan bau.

Gadis montok itu mulai merapat. Tanganku merengkuhnya, ia telah siap menjadi pelabuhan syahwatku.

“Braaaakkk !.” Suara pecah dari arah pintu. O, pintu di tendang dari luar. “Angkat tangan!.”

Dua lelaki cepak berbadan tegap menodongkan pistol ke arahku.

Gadis montokku secepat kilat menyambar handuk yang tergeletak di lantai.

Aku bingung. Tengok kanan kiri panik, ada apa ini?.

Salah seorang lelaki cepak itu membentak. “Ayo, cepat!, ikut kami!.”

Akhirnya aku pun di gelandang ke kantor polisi.

“Gimana, Ki kok bisa ketahuan?.” Tanyaku pada Ki Joko Tolol pada saat ia menjengukku di sel kantor polisi.

“Salah kamu sendiri!, kamu gak ngomong kalau di rumah itu ada CCTV nya?.”

“TV nya kan sudah saya jual kemarin di Taman Puring.”

“Bukan TV, Tolol!, CCTV atau kamera.”

“Mana saya tahu, Ki?.” Sahut aku bingung. “Terus, gimana Ki caranya agar saya bisa keluar dari sel ini. Kalau perlu bugil, saya akan bugil lagi deh!.”

“Dasar tolol bin blo’on, pikiranmu ‘cetek, secetek kali Ciliwung!.” Bentak Aki marah.

“Pikiranmu harus luas seluas samudera, tinggi setinggi gunung himalaya. Buka pintu pikiranmu lebar-lebar.”

“Itu, mantra nya, Ki!.”

Ki Joko Tolol kesal, ia menyeruduk kupingku. Dibisikkinnya kupingku tentang “sesuatu”, “sesuatu banget deh… .” Lama juga ia bisiki sampai air ludahnya nyemprot-nyemprot di kupingku.

“O… itu maksudnya, Ki?, aman gak, Ki?.”

Cincai lah!, semua bisa diatur, anak muda!.”

Sepeninggal Aki, aku mulai merenung dan terus merenung di dalam sel. Kata Aki, aku harus buka pikiranku, menangkap semua peluang yang ada. Cling!, ide itu nemplok’ di jidatku. Sejak itu aku mulai merintis usaha, sel yang kumuh itu kini sudah menjadi sejuk, penjara yang sempit sudah menjadi istanaku.

Sedikit demi sedikit, dalam kurun waktu berproses, aku pun sudah bisa mengatur semuanya. Dimana lagi tempat yang aman untuk bisnis “sesuatu” itu selain di penjara?. Di jalan-jalan dan di bar-bar terlalu riskan. Benar kata si Tolol, penasihat spiritualku itu, cincai lah!, semua bisa diatur.

Dari sel kumuh dan penjara, ku jalani bisnis ini. Setelah aku dibebaskan pun, aku masih tetap menjalankan bisnis ini. Bisnis yang sangat menggiurkan. Kini, orang-orang memanggilku, Boss Besar, Bandar Narkoba yang tak tersentuh hukum.

Si Blek, kini sudah necis’. Giginya yang ompong waktu digebukin di penjara sudah di ganti gigi emas.  Seperti aku, pakaian nya jas dengan dasi kupu-kupu. Sementara Ki Joko Tolol, penasihat spiritualku sudah menjadi penasihat pribadiku. Jubah hitamnya sudah ia buang, ia ganti dengan jubah pink, dengan rantai kalung yang besar, gelang-gelang dan cincin-cincinya serba Bling-Bling serta jambul anti Krismonnya. OK juga seleranya Ki Joko Tolol, penampilannya mirip dengan Syahrini.

Dan aku?, apa yang tak bisa ku beli hari ini?. Hukum di Indonesia bisa ku beli!, sejuta Mei Hwa bisa ku beli!. Sahutku sombong.

Setiap pagi aku buka jendela, sambil berucap syukur. “Oh, Tuhan, alangkah indahnya Indonesiaku!.” @Kutz,190412

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline