Lihat ke Halaman Asli

Banci Insyaf

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sepertiga malam tepatnya di Taman Lawang dan sekitarnya.

“Mas Boooooy!, Massss Boooy!.” Teriak suara banci yang di imut-imutin.

Huh, ngapain lagi sih Donna?. Bikin gue bete aja deh!. Bisik gue gusar.

“Mas Boy, ciniii dong, Donna mau curcol (dibaca: curhat).” Panggil Donna.

“Nanti aja deh, Don…tarikan gue lagi sepi nih!.”

“Mas Boy kok lemes amat sih!.”

“Sama Udin aja, lo curcol nya.” Sahut gue kesal.

“Mas Boy sombong. Donna gak mau sama bang Udin. Bang Udin itu anak nakal, suka mencuri ketimun…eh, kok Donna jadi nyanyi.” Sahut Donna cengengesan.

“Bang Udin itu tangannya keretong (dibaca : keriting), hobinya kerajinan tangan melulu. Kalau dekat Bang Udin, Donna sering di pencet-pencet melulu. Memangnya Donna klakson.”

“Lo nya kali yang gatel!.” Sahut gue kesal.

“Ih, amit-amit memangnya Donna eksim*.”

Bang Udin yang kerajinan tangannya dapat sembilan, adalah tukang bajaj. Kebetulan kalau ada banci yang ‘gak penglaris (dibaca : gak dapat tamu). Si Udinlah The Hero nya, siap mengantar para banci pulang kemana saja, sekalipun ke lubang semut asal ia bisa pencet-pencet klaksonnya para banci.

Dibanding makhluk-makhluk malam lainnya yang mencari makan di Taman Lawang, Donna memang lebih lengket dengan gue. Bukan karena gue punya orientasi seksual yang sama dengan Donna. Tapi lebih karena gue dan Donna sudah bersahabat sejak kecil. Donna kecil yang aslinya bernama Dono adalah laki-laki tulen. Sering kami bermain bola bersama ditrotoar jalan. Mencuri mangga di halaman rumah-rumah orang kaya yang tinggal di sekitar menteng. Mengejar layangan, mandi di bantaran kali Manggarai, berkelahi lalu baikkan kembali. Masa kecil yang penuh kenangan antara gue dan Donna.

Ya, begitulah gaya persahabatan gue dengan Donna. Donna yang sering gue panggil banci kaleng tapi ia gak pernah marah. Gue sendiri gak tahu istilah itu timbul dari mana dan maksudnya apa?. Buat gue, enak aja diucapkannya.

Selain Bang Udin, makhluk malam lainnya yang mencari makan di Taman Lawang adalah Wawa, tukang rokok tempat biasa kami mangkal. Orangnya pendiam, pelit dalam bicara dan pelit dalam memberi hutangan rokok. Biar pelit bagaimanapun juga keberadaan Wawa dan pangkalan rokoknya sangat kami butuhkan, tempat kami mangkal dan berkumpul, bermain gaple bersama membunuh malam. Kalau Wawa gak dagang, Taman Lawang gelap seperti kuburan dengan para bancinya yang bergentayangan. Ketika lampu petromak dari warung rokoknya si Wawa nyala, kami semua seperti laron yang berrebut mencumbu cahaya.

Hendrikus dengan kumis dan bewoknya yang lebat adalah pria asal Timor. Mantan debt collector. Sejak digebukin sama orang-orang yang balas dendam padanya, kini ia jadi budek dan sedikit linglung. Walaupun IQ nya mengalami degradasi tapi tongkrongannya tetap menakutkan. Setelah lelah mencari pekerjaan kesana kemari, akhirnya ia memilih untuk jadi body guard nya para banci. Kalau ada tamu-tamu cowo yang setelah di service oleh para banci tapi gak mau bayar langsung dihajarnya tanpa ampun.

Si Emang, tukang sekoteng. Kadang dagang di dekat warung rokoknya Wawa, kadang juga tidak. Gak jelas asal usulnya. Jadi gak penting untuk diceritakan.

Seperti malam ini di warung rokoknya Wawa, joint kopi sambil main gaple rame-rame. Taruhannya yang kalah, dia lah yang bayar kopinya. Pekerjaan iseng buat gue sambil menunggu kiriman rejeki dari Tuhan, siapa tahu ada penumpang yang mau diantar pakai ojek. Gak banyak rejeki yang diberikan oleh Tuhan, lumayanlah bisa buat makan sehari-hari dan biaya anak sekolah.

Dari kegelapan, Donna datang sambil nangis-nangis, meraung-raung seperti gadis yang hilang keperawanannya.

“Hiks, hiks, Mas Boy cari tempat sepi yuuuk!.” Ajak Donna.

“Ngapain?.” jawab gue acuh.

“Gue mau curcol sama lo.”

“Bosan ah!. curcol melulu!.”

“Lo gak lihat gue lagi main gaple!.” Jawab gue ketus.

“Hei, Don. Cari orang lain sajalah!. Sudah pas ini orangnya!. Kalau si Boy kamu tarik, nanti kuranglah orangnya!.” Teriak Hendrikus pada Donna.

Permainan gaple memang membutuhkan empat orang, kebetulan sekarang yang main gaple ; gue, Bang Udin, Hendrikus dan si emang tukang sekoteng.

Donna masih nangis manja pada gue. “Ayo dong, Mas Boy… Donna butuh teman curcol nih!.”

“Sama saya saja bagaimana, Don?.” Bang Uding nyeletuk menwarkan diri.

“Ogah ah!, Bang Udin tangannya jail!.” Jawab Donna ketus.

“Hehehe… Bang Udin pengen tahu doang, punya Donna sama gak dengan punya emaknya anak-anak di rumah. Hehehehe.” Kata Bang Udin cengengesan.

“Alah, alasan saja kau, Din!. Tanganmu itu memang klepto!.” Sahut Hendrikus kesal.

“Nama saya Udin Sapto bukan klepto!, Pak Hendrik.” Sahut Udin lantang.

“Hahaha, percuma ngomong sama kau, Din. Gak bakalan nyambung!.”

“Wah usul yang bagus itu Pak Hendrik!. Menurut saya juga lebih keren Udin klepto dari pada Udin sapto. Bagaimana Bang Udin, setuju kalau diganti?.” Tanya si emang polos.

Merasa di cuekkin, Tangis Donna semakin meraung-raung. Kali ini ditambah dengan gebukin pada punggung gue.

“Hiks hiks, ayo dong Mas Boy!. Donna sewa deh ojeknya!.”

“Benar nih, Don?. Mau disewa berapa jam?”

“Perhitungan banget si lo sama temen. Pokoknya nanti Donna kasih duit deh!.”

“Hehehehe, akhirnya…kalau sudah rejeki memang gak kemana-mana.”

“Sorry ya friends, gue narik dulu!. Besok saja kita lanjutin gaplenya.”

Donna langsung nyemplak di jok belakang. Dengan sekali stater, bebek gue siap mengantar Donna kemana saja.

Di pinggir bangunan irigasi, motor gue parkir. Gue dan Donna turun dari motor, mencari tempat yang enak untuk duduk-duduk.

Sepatu high heels nya tiba-tiba saja dibanting ke tanah. Blazer merah marun nya dibuang juga ke tanah. Make up dan eye shadownya berantakan akibat tangis. Lipstik murahan yang Donna pakai pun luntur. Pemandangan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa buat gue. Kalau sedang marah, apa saja dibuang oleh Donna nanti kalau sudah baikkan, semua yang dia buang akan dipungut kembali.

“Mas Boy, gue benci laki-laki!.” Teriak Donna. Suara Donna yang imut-imut berubah jadi amit-amit, suara lelaki tulennya akhirnya keluar juga.

“Semua laki-laki itu brengsek!.” Teriak Donna lagi.

“Hiks hiks hiks … termasuk Bokap gue!, dia juga brengsek!.” Tangis Donna terdengar sedih.

“Eh, Don, ngapain lo bawa-bawa bokap lo yang sudah di alam kubur?.”

“Kalau lo putus sama cowo, kenapa lo jadi marah sama bokap lo?.” Tanya gue kesal.

“Dia yang menyebabkan gue jadi banci!.”

“Ah, sudahlah, Don itu kan masa lalu… .” Kata gue menenangkan Donna.

“Pokoknya, mulai detik ini gue benci laki-laki!, laki-laki itu setan semua!.”

Gue hapal banget sifat Donna kalau lagi marah. Nanti kalau ada cowo yang dia suka, Donna suka blingsatan sendiri, semua prinsip yang pernah dia ucapkan dulu seketika itu juga hilang ditelan kelam. Sedari kecil Donna yang gue kenal adalah Dono teman sepermainan gue. Dono adalah anak semata wayang. Selagi hamil, ibunya begitu mendambakan anak perempuan. Begitu tahu, anak yang dilahirkan adalah laki-laki, ibunya sangat kecewa. Kekecewaannya ditumpahkan ibunya dengan sering memakaikan pakaian anak perempuan kepada Dono. Dono menuruti saja kemauan ibunya agar ibunya tidak marah kepadanya.

Apabila, bapaknya tahu maka Dono bisa ditamparnya. Bukan hanya kepada Dono, bapaknya pun kerap kali suka memukul istrinya.. Kejadian ini sering berulang.

Sampai pada saat Dono ABG, ketika acara hari Kartini di kelurahannya. Ibunya menyulap Dono menjadi wanita jawa yang anggun. Dono yang cantik dan anggun itu di arak keliling kampung bersama kartini-kartini kecil lainnya. Ibunya bahagia dan Dono pun senang sudah bisa membahagiakan ibunya.

Bapaknya pun akhirnya tahu dari cerita para tetangga, Dia merasa malu memiliki anak yang seperti banci.  Bapaknya memukuli Dono dan istrinya tanpa ampun. Setelah memukuli Dono dan ibunya, itulah hari terakhir bapaknya datang ke rumah. Setelah kejadian itu bapaknya pun tak pernah datang lagi, mencampakkan Dono dan ibunya begitu saja.

Sepeninggal suaminya, Ibunya Dono tak tahan hidup menderita, ia pun menghabisi nyawanya dengan menenggak racun serangga. Tinggal Dono remaja yang harus bisa bertahan hidup di Jakarta. Awalnya Dono bekerja di salon-salon kampung, pergaulannya dengan banci di salon-salon itu, membuat ia memilih jadi banci untuk menghidupi dirinya.

“Mas, Boy… gue mau insyaf!.” Sahut Donna lirih.

“Hiks, hiks…gue mau tinggalin ini semua!.” Sahut Donna sambil terisak tangis. “Gue mau insyaf, Mas!.”

Donna langsung menubruk gue. Memeluk gue sambil menumpahkan tangisnya. Dan biasanya gue pun jadi ikut-ikutan cengeng.

“Bener, Don.. lo mau jadi laki-laki lagi?.” Tanya gue serius sambil memandang sorot matanya.

Donna tak menjawab pertanyaanku, ia hanya menundukkan mukanya sedih.

Setelah melepaskan pelukannya, gue pun mengguncang-guncang bahunya penuh semangat. “Lo harus tinggalkan masa lalu lo, lo harus membuka lembaran baru dalam hidup lo, Don!.”

“Ma kasih, Mas Boy… .” sahut Donna pelan.

Malam-malam tanpa Donna di Taman Lawang, ternyata menjadi malam yang sepi buat gue. Aneh, gue kok bisa kangen sama Donna, kangen sama bawelnya, kangen sama ‘ngerumpinya, hehehehe… gue kangen juga sudah lama gak ada yang traktir makan. Walaupun kadang gue sebel sama sikap manjanya tapi Donna bukan orang yang pelit, kalau dia lagi dapat rejeki, Gue suka ditraktirnya makan.

Tanpa terasa sudah hampir dua tahun Donna menghilang. Ada tetangganya yang bilang kalau Donna sekarang nyantri di pesantren. Ada juga teman bancinya yang bilang, kalau Donna ikut Om nya ke Palembang.

Di terik siang yang panas ketika matahari asyik mengangkangi bumi. Aku berteduh di bawah pohon sengon yang tumbuh di samping gereja Theresia.

“Assalamu’alaikum … assalamu’alaikum.” Suara cewe yang lembut dari arah belakang.

“Wa alaikum salam… .”

Di depan gue berdiri seorang gadis anggun berjilbab merah mudah. Di sampingnya seorang anak muda yang nampak alim, mengenakan baju koko putih dan celana pangsi hitam serta mengenakan kopiah warna hitam juga.

Makhluk malam Taman Lawang seperti gue, mana punya teman gadis berjilbab dan cowo alim seperti mereka.

“Mas, Boy lupa ya?.”

Siapa ya?, Gue benar-benar lupa. Gadis berjilbab itu tersenyum ramah. Gue pun jadi kikuk di tanya oleh gadis berjilbab itu.

“Masa Mas Boy lupa sih?.”

“Mba, siapa ya?.”

“Ini, Donna Mas Boy….”

“Hah!, Ya Alloh!, Donna?.” Tanya gue gak percaya. “Pangling, gue sampe gak ngenalin lo Don!.”

“Oh, iya Mas Boy kenalin, ini A’a!.” Sambil Donna menunjuk ke arah cowo alim disebelahnya. Dan cowo alim itu hanya tersenyum ramah.

“Gak nyangka, beda banget lo Don kalau pakai jilbab!. Wajah lo jadi bercahaya, Don.”

“Permisi dulu ya Mas Boy, Donna mau pergi sama A’a.” Donna pun ijin pamit sama gue.

“Assalamu’alaikum!.”

“Wa alaikum salam.” Jawab gue penuh takjub pada Donna.

Donna dan A’a pun beranjak pergi meninggalkan gue yang masih melongo memandangi mereka.

Sebelum Donna pergi jauh, ada sesuatu yang ganjil di pikiran gue. Gue pun menyusul mereka.

“Sorry ya A’, gue ada urusan dulu sama Donna, penting!.”

Gue pun bergegas menyeret Donna menjauh dari si A’a. Donna pun berontak menolak ajakan gue.

“Apa-apa an si loh!.” Sahut Donna kesal.

Gue juga kesal sama Donna. “Gila lo ye!.” Sambil menunjuk ke batang hidungnya. “Dulu lo bilang sama gue katanya mau insyaf!, mau insyaf!. Kok kenyataannya masih begini!”

“Memang sekarang gue sudah insyaf, Mas Boy!.”

“Insyaf apaan?. Kok lo masih bergubungan dengan laki-laki?.”

“Dulu gue wanita nakal, sekarang gue sudah insyaf jadi wanita baik-baik.”

“Jadi lo?.” Gue jadi bingung.

“Maksud gue, lo tetap jadi banci?. Gak insyaf jadi laki-laki kembali?.”

“Gak lah, Mas Boy. Mungkin sudah nasib gue jadi banci seumur hidup.”

Gue cuma bengong mendengar penjelasan Donna. Donna yang gue pikir mau insyaf jadi laki-laki kembali ternyata gue salah mengartikan maksudnya Donna.

“Permisi Mas Boy, Donna sama A’a mau pergi dulu ke pengajian … assalamu’alaikum!.”

Donna dan A’a akhirnya pergi meninggalkan gue yang masih shock.

Sial!, gue kira Donna mau insyaf jadi laki-laki!.  Gak tau nya tetap jadi banci juga!. Hehehehehe, tapi lumayanlah sekarang Donna sudah jadi banci yang alim bukan banci nakal lagi.

Biar bagaimanapun itu adalah pilihannya Donna. Gue gak bisa ikut campur. Sebagai teman gue senang juga Donna sudah berubah. Hehehehe…Ya Tuhan, tinggal gue deh sekarang yang masih berantakan agamanya. @Kutz, 200412

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline