Lihat ke Halaman Asli

Andayo Ahdar Notes

menulis, membaca satu paket untuk melihat bangsa

Ulama Terdahulu, Sang Jurnalis Yang Tak Lekang oleh Waktu

Diperbarui: 7 Maret 2022   14:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.sifatusafwa.com/en/classical-collections-of-hadeeth/sahih-al-bukhari-with-harakat.html

Berita, kabar yang tersampaikan yang datang dari masa lalu dan masih dibaca dan didengarkan hingga kini. Kesemuanya itu berasal dari rutinitas atau kegiatan yang mentradisi secara turun temurun. Melalui tutur para Pujangga, Sastrawan, Penulis hingga pada bait-bait tulisan yang telah diterbitkan, menjadi bacaan yang selanjutnya dijadikan sebagai rujukan dan bahkan sebagai sumber otentik atau hukum penjelas aktifitas manusia.

Para Pujangga dan Sastrawan, Penulis itu, dengan segala daya dan upaya bertutur dan menulis.  Melintasi darat dan lautan berpetualang demi bait dan alinea. Semua mereka lalui dengan darah.airmata serta materi. Mereka itu tidak lain adalah para Ulama. Runititas mereka adalah berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya. Untuk mencari dan menggali melalui lisan para pewaris nabi. Yaitu Sahabat Nabi, Tabiin, Tabiut Tabiin, serta salafushshalih (orang-orang terdahulu) yang mengikuti tradisi kelimuan dalam penyampaian, Alqur'an dan hadist. 

Kesungguhan mereka diperlihatkan dalam kegigihannya menuntut ilmu. Kemudian mereka mengikat ilmunya dengan menulis. Menulis tentang  perkara-perkara hidup manusia, tata cara dalam beradab serta penerapan hukum-hukum dalam bermuamalah. Kegiatan tulis -menulis yang disusun sangat detali dari sumber-sumber yang terpercaya dan terjaga, 

Literasi yang dibangun diatas ilmu, menjadi persyaratan mutlak bagi mereka dalam jurnalisme dakwah yang digelutinya. Tulisan-tulisan mereka hingga kini masih bisa terbaca dan dijadikan rujukan dalam pelbagi kondisi terutama pada dunia pendidikan Islam. Bila dibandingkan dengan kondisi kekinian, di abad millenial ini, sering kita jumpai para jurnalis yang setia menjalani profesinya dengan semangat untuk berbagi, kontrol sosial serta auto kritik. Aktifitasnya itu terkadang dan bahkan lebih sering mendapatkan kendala dari orang-orang yang tak senang dengan kegiatan berjurnalistik mereka. Kesulitan demi kesulitan datang silih berganti. Dan tak jarang diantara mereka harus menemui Syahidnya di "medang pena".Bagi mereka pena laksan pedang yang siap menghunus ketidakadilan dan melawan tirani. Lalu bagaimana pula dengan para ulama?  Mereka bukan hanya menuliskan ilmu yang mereka dapati, akan tetapi mengamalkan dan mengajarkannya. Ujian dan cobaan justru datang kepada para ulama meski yang mereka bawa itu untuk kemaslahatan ummat. Beberapa dari mereka dikisahkan harus berurusan dengan penguasa yang zalim dalam memerintah dan orang-orang yang tidak rela melepaskan kebiasaan -kebiasan buruknya. Dicambuk, dipenjarakan dan bahkan dibunuh. 

Beberapa tahun lalu, kita pernah mendengar beberapa media harus dibredel karena beberapa alasan. Diantaranya berseberangan dengan pemerintah. Namun setelahnya merekapun tenggelam oleh masa. Namun jasa mereka akan selalu dikenang oleh beberapa orang yang memiliki kepedulian yang sama. Lain halnya dengan para ulama kita, meski tak memiliki media, mereka selalu "hidup" dan dingat melalui karya jurnalistik nan memukau. 

Kini karya mereka dengan mudah tersebar melalui jejak digital. Tak seperti dahulu kala, karyanya hanya bisa dinikmati dengan bilangan waktu yang panjang, namun dalam kurun waktu  itu, begitu banyak yang telah merasakan manfaat dari tulisan mereka. Seharusnyalah di era ini, karya tulis itu bisa dinikmati serta diamalkan oleh para pembacanya. 

Shahih Bukhari, shahih Muslim, Bulughul Maram, Riyadhus Shalihin, Kuttab Iman Malik. Sederet karya agung ulama pada abad- abad silam. Karya  tulis ilmiah yang sarat makna dan aplikasi penting. Yang bukan hanya sekedar teori namun sekaligus praktek.  Para ulama adalah penerus para Nabi dalam menyampaikan risalah. Cara mereka menyampaikannya dengan  menimba ilmu lalu menarikanya ke dalam lembar-lembar ilmiah.  Hingga layaklah mereka disebut sebagai pelopor jurnalis yang tak lekang oleh waktu. Pedoman mereka dalam berdakwah lewat tulisan adalah IQRA.yang artinya bacalah. Dari baca hingga tulis adalah media cerdas dalam penyampai, penyambung risalah suci nan mulia. Untuk lebih berinteraksi dengan mereka, mari kita mencari rekam jejaknya pada biografi para Jurnalis yang sekaligus ulama tersebut lewat biografi yang juga dituliskan oleh para ulama terkini yang berkhidmat dan mengambil faidah limu darinya. Hoaks, bertindak sekuler,kabar yang menggaduhkan serta menindas hati nurani suatu kaum, tidak ada dalam referensi mereka. Justru mereka adalah guru yang patut dicontoh. Minimal mencontohi mereka dalam giat menulis yang bermanfaat. 

Berilmu dahulu lalu menulis. Membela yang benar, bukan membela yang bayar. Itulah Jurnalis sejati. Ingin dikenang maka menulislah. Ulama terdahulu adalah jurnalis sekaligus guru agama yang terdepan menebarkan virus kebaikan. Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang, Manusia mati meninggalkan budi pekertinya. Ulama berpulang meninggalkan ilmu. Ulama, Sang jurnalis menulis  yang tak lekang oleh waktu




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline