Lihat ke Halaman Asli

bakulan opini

Pegiat Literasi

Tantangan dan Solusi dari Tingginya Harga Properti Residensial di Indonesia

Diperbarui: 26 Mei 2024   19:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tantangan dan Solusi dalam Peningkatan Harga Properti Residensial di Indonesia

Laporan Bank Indonesia (BI) menunjukkan adanya peningkatan harga properti residensial di pasar primer pada kuartal I 2024. Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) menunjukkan pertumbuhan sebesar 1,89 persen (yoy) pada kuartal I 2024, lebih tinggi dibandingkan 1,74 persen pada kuartal IV 2023. Peningkatan ini terutama didorong oleh kenaikan harga properti tipe kecil yang mencapai 2,41 persen, melanjutkan kenaikan 2,15 persen pada kuartal sebelumnya. Di Pontianak, kenaikan harga properti paling signifikan, mencapai 3,57 persen sepanjang 2023, tertinggi di antara 18 kota lainnya.

Peningkatan harga properti residensial menunjukkan dinamika pasar yang kompleks dan beragam. Kenaikan IHPR terutama dipicu oleh lonjakan harga properti tipe kecil, menandakan tingginya permintaan di segmen ini. Kenaikan harga yang signifikan di Pontianak menunjukkan adanya tekanan permintaan yang tinggi serta keterbatasan pasokan yang memadai. Situasi ini mencerminkan tren yang lebih luas di berbagai kota besar di Indonesia, di mana permintaan tinggi namun pasokan terbatas.

Program Sejuta Rumah: Harapan dan Kenyataan

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Junaidi Abdillah, mengungkapkan pesimismenya terhadap keberhasilan Program Sejuta Rumah (PSR) yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo sejak 2015. Program ini, yang bertujuan menyediakan perumahan terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), menghadapi banyak kendala di lapangan.

Masalah utama adalah perizinan yang rumit dan membutuhkan banyak waktu serta biaya. Proses perizinan yang panjang dan birokratis menjadi hambatan utama bagi pengembang perumahan. Selain itu, program investasi bersama yang membebani para pengembang perumahan menambah tantangan, terutama di provinsi seperti Banten dan di seluruh Indonesia. Banyak pengembang perumahan bersubsidi akhirnya memilih mundur atau menutup usahanya karena margin keuntungan yang sangat minim.

Tantangan Hukum dan Perizinan

Masalah perizinan dan proses pengalihan status tanah yang rumit serta bertele-tele menambah beban para pengembang. Banyak pengusaha pengembang perumahan menghadapi masalah administratif yang memerlukan biaya, waktu, dan energi yang sangat besar. Tidak mengherankan jika banyak pengembang perumahan, khususnya perumahan bersubsidi, memilih mundur dari pasar. 

Data dari DPP Apersi menunjukkan bahwa 40 persen pengusaha memilih mundur karena margin keuntungan yang sangat minim. Harga rumah untuk MBR telah ditetapkan oleh pemerintah dan tidak boleh dinaikkan, sementara biaya pembangunan terus meningkat. Akibatnya, harga rumah semakin mahal dan semakin sulit dijangkau oleh rakyat miskin.

Faktor Ekonomi dan Sistem Kapitalis

Mahalnya rumah disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk mahalnya bahan bangunan yang dipengaruhi oleh sistem ekonomi kapitalis di mana sumber daya alam dikelola oleh perusahaan, bukan negara. Sistem ini menyebabkan harga bahan bangunan melambung tinggi, yang mengakibatkan biaya pembangunan yang mahal. Kondisi ini membuat rumah semakin sulit dijangkau oleh rakyat miskin, dan program rumah murah tidak berhasil memenuhi kebutuhan perumahan yang memadai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline