Lihat ke Halaman Asli

Aku Pantas Dicintai

Diperbarui: 29 Mei 2021   18:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengerjapkan mata perlahan, meraih ponsel yang tergeletak di atas meja sebelah tempat tidurku. Mengecek jam yang tertera di layar, pukul 04.15 rupanya. Beberapa menit berselang, alunan adzan shubuh bergema memecah keheningan di pagi buta yang mencekam. 

Aku bangkit, merenggangkan seluruh tubuh yang terasa remuk karena kurang tidur beberapa hari terakhir sedangkan banyak aktifitas yang harus ku kerjakan; Kuliah, mengajar, organisasi. Dan sialnya, aku masih harus menangisimu. Menangisi kisah kita yang terpaksa usai bahkan sebelum menginjak garis akhir, mengharuskanku untuk mengubur mimpi yang bertahun-tahun dihidupkan dengan doa dan harapan.

Jika memang kau tak sungguh, mengapa harus singgah? Mengisi ruang kosong yang lama tak tersentuh celah. Sedari awal, memang aku yang salah. Mempercayaimu sebagai yang terakhir dan memberikanmu kewenangan lebih untuk menggenggam hatiku. Namun aku lupa bahwa genggaman tak selamanya erat, ia bisa merenggang kala tak lagi dibutuhkan. Dan ironisnya, seperti itulah aku sekarang. Tak lagi berharga hingga kau buang tanpa ucapan selamat tinggal. Aku yang salah, karena mencintaimu terlalu dalam hingga membiarkanmu menyelami duniaku dan dengan sengaja meninggalkan jejak di sana demi menyaksikanku terluka.

***

"Kamu egois!" ucapmu meradang.

"Aku?" tanyaku tertahan.

"Kamu selalu bersikap semaumu dan tak pernah mendengarkan ucapanku setiap kali kita bertengkar. Apa hubungan ini hanya tentang kamu? Lalu apa arti keberadaanku di dalamnya?"

Aku terpaku, meresapi kata-katamu yang amat menohok hatiku. Kamu benar, selama ini aku egois. Sebagai perempuan, aku selalu ingin didengarkan tanpa pernah mencoba mendengar keluh kesahmu barangkali memang ada hal yang ingin kamu sampaikan. Tapi, bukan berarti kamu bisa meninggalkanku begitu saja 'kan? Karena setelahnya aku sama sekali tidak bisa menghubungimu sehingga membuatku berasumsi bahwa hubungan kita telah berakhir.

Dan kenyataannya memang demikian, sampai minggu berganti bulan, aku sama sekali tidak bisa menghubungimu. Ratusan pesan dan panggilan yang ku layangkan tak kunjung mendapat jawaban. Agaknya, kau memang begitu marah sehingga dengan mudahnya pergi tanpa sempat mengucapkan kata perpisahan. Lalu bagaimana denganku? Dengan penyesalan tiada akhir yang kerap menghantui. Penyesalan yang mebuatku enggan membuka diri dan takut mengenal orang baru.

Untuk pengidap Bipolar dan Anxiety Disorsder sepertiku, mengendalikan emosi bukanlah hal yang mudah ditambah dengan perasaan dan pikiran buruk yang kerap kali muncul; merasa diabaikan, tidak berharga, ditinggalkan, kesepian, gelisah dan mencemaskan hal-hal yang tak perlu. Aku menuntutmu untuk mencintaiku tanpa memandang kekurangan yang aku miliki, menuntutmu untuk selalu memahamiku termasuk mental illness yang ku miliki. Namun, aku tak pernah mau tahu kondisimu---barangkali memang ada hal-hal menyangkut diriku yang membuatmu tak nyaman. Namun kamu bungkam, seolah benar-benar menerimaku. Dan ternyata penerimaanmu hanyalah bualan, sedangkan aku sudah memperingatimu sedari awal.

Tak apa, aku mengerti. Jangankan kamu, akupun awalnya mengingkari keadaanku. Menyalahkan takdir yang seolah tak berpihak. Namun kini aku sadar, daripada meminta orang lain untuk memahami keadaanku, aku harus terlebih dahulu memahami diriku sendiri. Berdamai dengan takdir dan menerima kekuranganku. Aku tidak akan memaksa orang lain untuk mencintaiku, karena aku yang akan mencintai diriku sendiri melebihi siapapun karena aku berharga. Jika memang kamu meninggalkanku karena aku yang tidak pantas dicintai, maka akan ku buktikan bahwa dugaanmu adalah kesalahan besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline