[caption id="attachment_378911" align="aligncenter" width="450" caption="Tempat khusus penyandang disabilities"][/caption]
Sebagai Warga Negara Indonesia yang dari lahir hingga beberapa tahun lalu tinggal di Jakarta, saya sangat akrab dengan transportasi umum di Jakarta terutama yang namanya bis kota. Saya inget banget dan saya tahu banget gimana rasanya naik bis kota, seperti lagunya Ahmad Albar yang judulnya „Bis Kota": berhimpitan, berdasakan, bergantungan...
Nah, di Jerman saya cukup seneng nih, supir bis-nya baik-baik.
Di Jerman tidak akan saya mendapati supir bis yang ugal-ugalan atau main kebut-kebutan. Wong di sini, bis selalu datang tepat waktu. Sesuai jadwal yang tertera di masing-masing halte bis.
Tidak akan saya mendapati bis yang salah jalur.
Tidak akan saya mendapati penumpang berjubelan, bergelantungan sampai di pintu atau bis nya sampai miring, seperti jaman saya masih SMA.
Di Jerman sini, saya pernah nyaris ketinggalan bis, Eh, sopir bis nya baik, nungguin saya. Mungkin kasihan kali lihat saya dari jauh sudah lari-larian.
Lalu pagi ini, ketika bis yang saya tumpangi berhenti di salah satu halte, saya terkejut ketika pak sopir dengan sigap tiba-tiba turun dari kursinya, lalu keluar dari pintu depan berjalan bergegas menuju arah belakang, wah ada apa ini, jangan-jangan ada yang nyerempet bis yang saya tumpangi ini.
Dengan rasa penasaran, mata saya membuntuti pak sopir yang berjalan dari arah luar menuju pintu tengah, kemudian ia membuka pintunya, dan membuka papan extra, yang dibuat sebagai jalan turunan.
[caption id="attachment_378913" align="aligncenter" width="506" caption="dok. pri"]
[/caption]
Ternyata jalan turunan itu dibuat khusus untuk ibu-ibu yang membawa kereta dorong bayi, atau orang tua yang sudah sepuh, atau penyandang disabilities untuk turun di halte yang dituju dengan lebih mudah.