Lihat ke Halaman Asli

Mentari ELart

..perempuan Indonesia

Kue Lumpur Mak Icih

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kue Lumpur (Pic from www.bogasari.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Kue Lumpur (Pic from www.bogasari.com)"][/caption] „Kamu benar  tidak apa apa kalau dilangkahi adikmu lagi?" tanya ibu hati-hati kepadaku melalui pembicaraan telepon. „Tidak apa apa, bu. Sungguh. Aku juga sudah dikabari langsung kok sama Reni, kalau ia dan Heru mau menikah. Selain itu mereka juga sudah menjalin hubungan cukup lama, kasihan kalau pernikahan harus ditunda-tunda terus hanya karena aku" aku berusaha meyakini ibu. „Lalu, kapan kamu mau menyusul adikmu, Tan?" nah, pertanyaan ini yang sebenernya paling tidak kusuka, walaupun yang menanyakan adalah ibuku sendiri. „Nantilah bu..." jawaban yang sudah kuhapal dan sudah berulangkali kukatakan kepada setiap orang yang menanyakan kapan aku akan menikah. Lalu kami berdua sama-sama terdiam. Tak ada yang berkata-kata, tidak ibu, tidak juga aku. Aku seolah mendengar tarikan nafas ibu di ujung sana. Aku ingin keheningan ini berlalu, tapi untuk memutuskan pembicaraan aku tidak tega. Begitu juga dengan ibu. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Adikku Mutia sudah menikah tiga tahun lalu dan kini telah memiliki seorang putera berusia dua tahun. Dan sekarang adik bungsuku Reni akan menikah juga. Sebelum ibu menelponku malam itu, Reni memang sudah menceritakan padaku bahwa ia dan Heru sudah cukup lama merencanakan pernikahan ini. Tapi ibu selalu menolak, dengan alasan tidak mau kalau aku dilangkahi lagi. Yang ibuku tahu, yang ayahku tahu, dan yang seluruh keluarga besarku tahu, aku tidak pernah punya pacar. Tidak pernah ada seorang pria yang berkunjung ke rumahku dan kuperkenalkan sebagai kekasihku. Tanteku pernah bilang, jadi perempuan jangan sekolah tinggi-tinggi, nanti laki-laki pada takut. Aduh, pemikiran darimana sih itu?. Aku memang tidak mudah jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta malah sama orang yang salah.Ya, orang yang salah. Karena yang kucintai adalah seorang laki-laki beristri. Namanya Rio, aku mengenalnya sekitar lima tahun yang lalu. Dia pemimpin di perusahaan tempatku melakukan penelitian skripsiku. Selama tiga bulan penuh aku melakukan penelitian di sana, banyak bertanya, bertemu, dan berkomunikasi dengannya. Pertemuan yang intensif membuahkan kedekatan diantara kami. Dari kekaguman berubah menjadi rasa cinta. Sayangnya Rio sudah berkeluarga. Ketika hasil sidang skripsiku diumumkan, yang pertama kuberitahu hasilnya bukanlah ibuku, tapi Rio pujaan hatiku. Kami merayakan kemenangan itu dengan makan malam bersama di sebuah tempat yang romantis, ya hanya kami berdua saja. Dan malam itu Rio tidak pulang ke rumahnya.  Itu malam pertama kami. Hari-hari selanjutnya bisa ditebak. Aku pindah dari tempat kos ke apartemen yang Rio belikan untukku.  Aku adalah selingkuhannya, jika tidak mau disebut simpanannya. Setahun hubungan kami, Rio menghadiahiku sebuah mobil, katanya dia khawatir kalau aku, yang saat itu sudah bekerja dan mulai meniti karirku, sering lembur dan pulang malam harus naik taksi sendirian. Ibu tidak pernah mengenal Rio. Aku tidak pernah menceritakan tentang Rio pada siapapun, tidak kepada keluargaku, juga tidak pada sahabat-sahabat dan rekan kerjaku. Rio menjadi satu rahasia pribadi dalam hidupku. Aku hidup dalam dua dunia yang berbeda. ________________________________________________________________________________ Sudah dua hari aku kembali ke kota ini, menghabiskan sisa cuti tahunanku sekaligus untuk menghadiri pernikahan Reni dan Heru hari Sabtu ini. Dalam taksi yang membawaku, aku teringat percakapan dengan ibu tadi pagi. „Tanti, nanti tolong ibu ambilkan pesanan Kue Lumpur di Mak Icih ya, di jalan Pemuda" kata ibu sambil membawa vas bunga segar untuk diletakkan di dekat jendela kamarku. "Kue lumpur buat acara apa bu?" tanyaku sambil lalu. "Buat acara nanti sore, ada briefing terakhir panitia pernikahan Reni dan Heru. Setelah itu Reni akan dipingit selama tiga hari. Dia tidak boleh bertemu Heru sampai hari pernikahan Sabtu ini" Ibu menjelaskan sambil tangannya tetap sibuk merapikan  bunga-bunga yang sudah rapih tersusun itu. "Memang camilannya harus kue lumpur ya bu, kenapa tidak yang gampang bikinnya, misalnya kue bolu. Nanti Tanti yang buatin. Atau kalau mau pesan, ya yang bisa diantar langsung. Pizza misalnya" kataku pada ibu "Tan, kamu tahu tidak? anak-anak muda jaman sekarang sudah terlalu akrab dengan makanan-makanan barat hingga tidak kenal kue tradisional lagi, padahal kalau mereka tahu enaknya kue tradisional,  hmmm... dijamin mereka bakal ketagihan. Apalagi kue lumpur Mak Icih ini, ibu sering pesan kok untuk acara arisan" ibu menjelaskan panjang lebar. "Atau, kamu sudah ada rencana ke tempat lain ya?, kalau begitu tidak apa, biar nanti ibu yang ambil sendiri" Sebenarnya bukan aku tidak mau menolong ibu mengambil kue pesanannya, buktinya aku berangkat juga. Bukan juga ingin berdebat dengan ibu soal kue tradisional dan kue modern, atau soal efisiensi waktu. Tapi entah mengapa, mendengar kata kue lumpur dan permintaan tolong ibu untuk mengambil pesanan kue lumpur, rasanya aku malas sekali. Aku teringat kejadian setahun yang lalu... „Mas Rio, aku hamil" kataku setengah bersorak sambil tersenyum bahagia pada Rio, ketika ia datang ke apartemen kami malam itu. „Apa? Kamu hamil?" Rio membelalakkan matanya. Pertanyaan dan ekspresi Rio langsung merubah air mukaku juga senyum diwajahku. „I...Iya, mas.." kataku pelan sambil menunggu reaksi selanjutnya dari Rio. Harap-harap cemas. „Kalau begitu kita pergi ke dokter sekarang juga, kita gugurkan" Rio sontak bangkit dari duduknya. „Apa? Digugurkan? Tidak, aku tidak mau. Mas Rio tidak takut dosa?" aku tetap tidak beranjak dari tempatku duduk. „Aku sudah berdosa ketika mulai mencintaimu dan menghianati pernikahanku, Tan" Rio berkata keras. Sebenarnya aku kaget dengan kata-katanya. „Tapi aku mau bayi ini. Ini anak kamu mas, anak kita" aku tetap tidak beranjak. „Ya Tan, ini anak kita dan kamu tahu aku mencintaimu. Tapi aku tidak mungkin menikahi kamu. Aku sudah punya anak dan istri. Aku juga tidak mungkin menceraikan istriku, aku tidak mau anak-anakku menjadi korban perceraian kami" „Mas Rio, kamu tidak perlu menceraikan istrimu. Kamu juga tidak perlu menikahiku. Biar kita jalani kehidupan seperti ini, tidak mengapa. Tapi yang jelas, aku ingin anak ini" „Tidak bisa, Tan" Rio bersikeras. "Kenapa tidak bisa?" Aku menantang. "Lalu apa yang akan kamu katakan pada ibumu nanti, kalau ibumu tahu kamu hamil lalu memiliki anak di luar pernikahan?" ... Akhirnya aku mengalah. Aku menggugurkan bayiku. Rio menemaniku. Rasanya sakit sekali.  Sakit secara fisik dan jiwa. Semalam-malaman aku menangis. Rio hanya bisa memeluk dan berusaha menenangkanku. Dia tidak pulang kerumahnya malam itu. Ibu. Ketahuilah bu, sebenarnya Ibu adalah alasan mengapa aku akhirnya menggugurkan bayiku. Alasan yang konyol bukan?, tapi itu semua kulakukan karena aku tidak mau ibu malu. Aku ingin ibu selalu bangga denganku. Anak ibu yang selalu berprestasi di sekolah. Anak ibu yang berpendidikan tinggi. Anak ibu yang bekerja di ibukota. Anak ibu yang sebenarnya hidup dalam lumpur dosa. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Toko kue ini tidak terlalu besar, bahkan tidak ada papan petunjuk bahwa ini toko kue Mak Icih. Yang dijual pun hanya kue lumpur, tidak tahu mengapa. Aku juga tidak tahu bagaimana ibuku, yang tinggal dibelahan lain kota ini, bisa tahu tentang toko kue ini. Mungkin seperti kata orang, restoran enak, walau tanpa iklan, pasti banyak pelanggannya. Tapi di sini tak tampak seorangpun. Tak ada penjual, tak ada pula pembeli. Hanya aku sendiri. Tiba-tiba dari dalam keluar seorang perempuan tua. Mungkin perempuan ini yang namanya Mak Icih. "Maaf bu, saya mau ambil pesanan kue lumpur" "Pesanan bu Sumiati ya? Ini, Reni yang mau menikah itu?" „Bukan Bu, saya Tanti, kakaknya Reni" „Oh, sudah menikah?" kebiasaan buruk orang Indonesia. Baru kenal langsung bertanya sudah menikah atau belum. „Belum, bu" ini ada apa sih, kok jadi main curhat-curhat an begini. Mak Icih terdiam, memandangi wajahku beberapa saat. Aku jengah dipandangi begitu. Hidup itu kadang-kadang seperti kue lumpur, kata Mak Icih seolah kepada dirinya sendiri. Kelihatan bagus diluar, tapi sebenarnya rapuh dan lembek di dalam. Tapi jangan salah, justru karena kue lumpur lembek dan seperti lumpur inilah, yang membuatnya jadi legit, enak, manis dan dicari-cari banyak orang. „Ah, ngomong apa sih saya ini. Maaf ya nak, maklum sudah tua. Ini pesanan kue lumpurnya. Salam buat ibumu dan semoga kamu cepat ketemu jodoh ya" Ketemu jodoh. Dalam hati aku menangis. Aku ingat kira-kira setahun yang lalu, Rio menelponku. „Tan, aku ingin kita mengakhiri hubungan ini" „Setelah empat tahun? Memang kenapa mas? Kamu tidak mencintaiku lagi?" „Aku mencintaimu, Tan. Tapi istriku ternyata tahu tentang hubungan kita. Kami bertengkar hebat dan dia mengancam akan bunuh diri. Pisau sudah ditangannya. Anak-anak kami menangis melihat ibu mereka kalap sementara pisau ditangannya.." Setelah itu yang kuingat aku hanya menangis dan menangis. Aku sudah memberikan segalanya untuk Rio. Aku sudah berkorban segalanya untuk Rio. Tapi kenapa sekarang semua harus berakhir seperti ini? Rio bilang, aku jangan pernah menghubunginya lagi, kalaupun suatu saat kami bertemu, kami harus bersikap seolah-olah tidak saling mengenal. Aku merasa mati separuh. Kesehatanku bahkan sempat drop dan aku harus dirawat dirumah sakit. Rio tidak menjengukku di rumah sakit, tidak sama sekali. Dia benar-benar hilang dari hidupku. Butuh waktu cukup lama untukku bisa bangkit kembali. Aku katakan pada diriku, aku perempuan hebat. Tanpa Rio pun aku harus tetap hidup dan menikmati hidupku. Aku kembali bekerja dan menghabiskan waktu dengan lembur dikantor atau hang out bersama teman-teman sepulang kantor. Tapi kemudian aku sadar, ternyata aku masih rapuh. Kepedihan itu masih ada. Ternyata waktu belum mampu menyembuhkan lukaku. Itulah sebabnya aku kembali ke kota ini, kota kelahiranku ini. Pernikahan Reni menjadi alasan untukku mengambil cuti cukup panjang. Berdoa, merenung, mendekatkan diri pada Tuhan, bermeditasi. Aku harus menjadi Tanti yang baru. Dengan kehidupan yang baru. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Aku duduk di kursi halaman belakang, dengan ditemani koran lokal yang iseng-iseng kubaca. Di teras samping terdengar suara cukup ramai, selain Reni dan Heru ada beberapa anak muda lain, sekitar sepuluh orang. Ini briefing terakhir. Ada yang jadi fotografer, dulu ada yang cetak undangan, ada yang mengkoordinir penerima tamu, ada yang menjadi pendamping pria dan wanita. Semuanya teman yang menjadi panitia pernikahan. Jujur saja, aku sedikit iri. Tiba-tiba sebuah suara terdengar di belakangku. „Tanti, kamu Tanti kan?" Aku menoleh, seorang pria berdiri di belakangku. Tingginya sekitar 180cm, berkulit sawo matang dengan garis-garis wajah tegas. Tidak jelek, tapi juga tidak terlalu tampan, tidak gemuk, tidak kurus, tapi juga tidak six pack. Biasa saja. Terlalu biasa bahkan, hingga mungkin mudah terlupakan. Tapi suaranya enak didengar. "Siapa ya?" aku berusaha mengingat-ingat garis-garis wajah itu. Sepupuku kah? Tidak tahu. „Aku Surya, kita pernah sama-sama bersekolah di SMA 1 dulu. Aku sahabatnya Heru, kebetulan aku yang akan menjadi pendamping pria, hari Sabtu ini. Kamu saudaranya Reni?" „Surya? Surya yang mana ya?" aku kembali mengingat-ingat. Sambil melipat kembali koran dan meletakkannya disampingku. „Ya, kamu pasti lupa sama aku, waktu SMA aku memang kuper. Hahaha" „Bentar..., Surya..., Surya..., Surya anak basket?" "Ya, benar. Aku dulu memang pernah jadi ketua Basket di SMA 1." „Oh maaf Surya, aku tidak mengenali kamu, habis sekarang kamu beda" Aku jadi ingat dulu si Surya ini kurus dan hitam, mungkin karena keseringan main basket. Sekarang agak mendingan. „Kamu juga tampak beda, makin cantik. Tapi aku selalu mengenalimu, Tan..." Saat Surya mengatakannya, entah mengapa darahku berdesir. „Ah, masa sih?" aku berusaha menyembunyikan rasa senangku. „Iya, aku tidak pernah lupa, ketika aku main basket dan terjatuh hingga kakiku keseleo, diantara para penonton, kamulah yang menjerit paling kencang, hingga aku menoleh kearahmu. Sejak saat itu aku selalu ingat wajahmu. Dan selalu berusaha mencari-carimu. Tapi selepas SMA kabarnya kamu kuliah di Jakarta. Baru sekarang aku bisa ketemu kamu lagi. Tidak terduga, ya" Ini apa sih. Perkataannya membuatku mati kata-kata. „Ya, aku kuliah dan bekerja di Jakarta. Sedang kamu?" „Aku kuliah dan bekerja di Bandung. Jarak Jakarta dan Bandung sepertinya tidak terlalu jauh, bukan? Kalau ada jodoh, mungkin suatu saat kita bertemu lagi. Mungkin di Jakarta, mungkin di Bandung, mungkin di sini" Aku hanya tersenyum. Aku baru sadar kalau Surya membawa kue lumpur ditangan kanannya. Surya juga baru sadar, begitu mataku tertuju pada kue lumpur di tangan kanannya. „Kamu suka kue Lumpur?" tanyanya sambil membelah kue lumpur jadi dua bagian. Tidak rata. Lalu memberikan bagian yang lebih besar kepadaku. Aku memakannya, rasanya manis. Lalu kami berdua tertawa bersama. „Aku senang melihatmu lagi, Tan.." -------------------------------------------------------------------------------- _mentari_




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline