Waduk Peluit merupakan suatu waduk yang ada di daerah Penjaringan,Jakarta Utara. Lahan ini pada mulanya hanya berupa rawa-rawa,tetapi sejak tahun 1960 proyek pembuatan waduk ini pun dimulai. Pluit telah dinyatakan sebagai sebuah Kawasan yang tertutup sehingga kawasan ini akan dijadikan sebagai polder Pluit. Polder adalah sebidang tanah yang rendah yang dikelilingi oleh timbunan yang menjadi kesatuan hidrologis buatan atau tidak adanya kontak dengan air yang berasal dari luar daerah selain yang telah dialirkan melalui alat manual. Namun,Otorita Pluit melakukan kegiatan pengembangan Pluit Baru yang bertujuan untuk mengembangkan perumahan,industri,dan waduk.
Proyek Pluit pun terus dilanjutkan hingga tahun 1971 dengan melakukan perluasan wilayah hingga ke daerah Jelambar dan Pejagalan. Selanjutnya,pada tahun 1976 kawasan Pluit telah disulap menjadi permukiman modern untuk kalangan menengah keatas yang dilengkapi dengan adanya tempat rekreasi serta lokasi perindustrian.
Namun,masih banyak rumah semi permanen tak layak huni yang dapat kita jumpai di tepi Waduk Pluit. Seperti kita ketahui,berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1992 Pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa perumahan adalah bagian dari permukiman dan merupakan kelompok rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan adanya sarana dan prasarana lingkungan. Hal ini disebabkan karena rumah adalah tempat untuk mengembangkan kehidupaan ekonomi,sosial,dan budaya yang dapat menjadi salah satu kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan sehingga memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Perumahan yang terletak di tepi Waduk Pluit termasuk kedalam jenis perumahan kumuh. Mengapa demikian? Hal ini dapat kita amati bahwa kualitas yang buruk dari bangunan tiap rumahnya serta sarana dan prasarana yang tidak memadai. Hal ini yang membuat bangunan tersebut mengalami penurunan dalam hal kualitas fungsi sebagai tempat hunian.
Berdasarkan data yang dimuat dalam medcom.id,terdapat 200 Kepala Keluarga (KK) yang menghuni perumahan semi permanen tak layak huni di tepi sisi timur Waduk Pluit,Kecamatan Penjaringan,Jakarta Utara. Pasalnya,sebanyak 200 rumah tersebut dikhawatirkan akan roboh karena letaknya tepat di samping pintu pompa air sehingga saat musim hujan tiba,debit air yang mengalir ke Waduk Pluit akan meningkat. Selain itu,akibat dari adanya rumah-rumah di tepi waduk juga dapat menyebabkan pendangkalan dan peralihan fungsi seluas 20 Hektar dari total 80 Hektar lahan yang seharusnya menjadi waduk penyimpan air.
Warga sekitar waduk tersebut tidak memiliki izin untuk mendirikan bangunan,tetapi mereka tetap bersikeras untuk mendirikan bangunannya tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tanah di wilayah tersebut merupakan tanah milik negara sehingga masyarakat tidak diperbolehkan untuk mendirikan bangunan diatasnya. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai,dan Garis Sempadan Danau yang didalamnya dijelaskan bahwa dilarang ada bangunan dengan jarak 30 meter dari pinggir sungai maupun waduk didalam kota.
Perumahan di sekitar Waduk Pluit hanya memiliki dinding yang berbahan kayu amupun tripleks. Warga setempat melakukan aktivitas sehari-hari di tepian waduk sehingga limbah yang mereka hasilkan akan mengalir menuju waduk dan menyebabkan pencemaran air waduk.
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi permasalahan ini adalah melakukan relokasi warga sekitar waduk dan melakukan penertiban bangunan setempat. Penduduk di sekitar waduk paham akan bahayanya tinggal di kawasan tersebut dan merasa pasrah apabila harus dipindahkan. Tak banyak dari mereka yang menerima apabila harus dipindahkan,tetapi ada pula yang menolak dengan keras untuk meninggalkan rumah yang telah mereka tempati selama belasan hingga puluhan tahun tersebut. Alasan penolakkan warga sekitar waduk didasarkan pada biaya yang harus mereka tanggung apabila nantinya mereka menghuni rumah susun milik pemerintah. Selain itu,mereka bersikeras menyebutkan bahwa rumah yang mereka huni selama ini tidak menyalahi aturan pemerintah dan memiliki surat izin untuk mendirikan bangunan di sekitar waduk.
Menurut salah satu warga setempat,mereka tinggal di sekitar waduk bukan menjadi sebuah masalah karena mereka tidak membuang limbahnya menuju waduk sehingga mereka beranggapan bahwa pemerintah tidak pernah memperhatikan kelayakan hidup mereka selama ini dan malah melakukan tindakan yang semena-mena dengan menggusur rumah yang sudah lama mereka tempati.
Upaya relokasi penduduk di sekitar waduk awalnya berjalan dengan baik,namun seiring berjalannya waktu,upaya tersebut mengalami kendala yakni jumlah unit rusunawa di Jakarta Utara sudah tidak dapat menampung warga yang hingga saat ini belum ditertibkan bangunannya. Lalu,pemerintah melakukan kembali penertiban bangunan tahap dua dan belum mencapai 25% dari total 2.000 bangunan yang ada di sekitar waduk. Penertiban bangunan kedua ini ditargetkan dapat selesai dalam waktu enam bulan,namun belum genap tiga bulan sejak Maret lalu,hanya sekitar 480 bangunan yang berhasil ditertibkan dan sekitar 300 KK dari total 400 bangunan yang telah direlokasi. Hal ini diperkirakan akan memakan waktu yang lebih lama daripada proses penertiban yang dilakukan sebelumnya.
Pemerintah menyebutkan bahwa saat ini ada lahan seluas 6,3 hektare yang berlokasi dekat dengan Rusunawa Muara Baru,namun hal ini masih menjadi pertimbangan apakah lokasi tersebut dapat dibangun rusunawa. Selanjutnya,Kepala Unit Pengelola Rumah Susun Sewa Sederhana (UPRS) Wilayah 1,Dinas Perumahan dan Gedung Provinsi DKI Jakarta mengakui bahwa ketersediaan unit rusunawa hanya tersisa 50 unit di Jakarta Utara dan terletak di Rusunawa Marunda. Warga sekitar waduk menolak apabila harus di relokasi di Rusunawa Marunda tersebut. Mereka hanya ingin direlokasi ke tempat yang lokasinya tidak jauh dari daerah Muara Baru. Namun,ketersediaan unit rumah susun di daerah tersebut sudah tidak dapat menampung warga sekitar waduk yang tersisa. Dengan demikian,pemerintah perlu melakukan peninjaun ulang mengenai kegiatan relokasi warga sekitar waduk serta tindakan yang efektif untuk segera mengatasi permasalahan yang terjadi hingga saat ini.