Lihat ke Halaman Asli

Golkar, Bergaya Politik Opurtunis

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Meskipun diawal era reformasi, nasib Golkar berada di ujung tanduk dengan terancam akan dibubarkan karena dituding sebagai kekuatan politik penyokong kekuasaan rejim orde Baru.Namun yang terjadi justru sembaliknya, partai berlambang pohon beringin ini tetap bertahan dijajaran papan atas partai politik Indonesia. Bahkan, pada pemilu 2004 berhasil keluar sebagai partai pemenang pemilu. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari kepiawaian partai peninggalan orde baru ini dalam melakukan manuver politik. Untuk Bali, partai ini melakukan gaya politik yang sama. Yaitu dengan lebih mengusung calon kandidiat non kader sebagai orang nomer satu dalam beberapa hajatan pemilukada bupati/walikota. Sedangkan kadernya sendiri hanya puas diberikan jatah sebagai orang nomer dua alias menjadi wakil saja.

Menurut aktivis Pro Demokrasi (Prodem), Ngurah Karyadi bahwa yang melatarbelakangi partai penguasa era orde baru itu mengambil pilihan politik mencari aman alias gaya politik opurtunis, hal itu tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi politik pada awal era reformasi 1998 yang tidak menguntungkan partai kekaryaan ini.“Karena melewati berbagai ujian berat paska reformasi membuat Golkar mengubah taktik dan strategi politiknya dengan tidak memaksakan kehendak untuk melakukan perlawanan terhadap kelompok pro-reformasi yang pada awal reformasi terus melakukan tekanan terhadap partai penyokong rejim orde baru tersebut,” jelasnya

Bahkan Gus Dur, katanya, berupaya ingin membubarkan Golkar dengan memnempuh dua cara. Pertama secara hukum, tetapi gagal dibubarkan. Kedua, secara politik, tapi sekali lagi upaya tersebut gagal karena tidak mendapatkan dukungan dari publik. Mengejutkannya lagi, kekuatan politik yang baru resmi menjadi parpol pada tahun 1999 itu, justru keluar sebagai pemenang pemilu 2004. “Berkat kepiawaiannya memainkan strategi dan taktik politik justru membuat partai Golkar bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan menjadi menguntungkan,” ucapnya.

Kemudian ia membeberkan bagaimana gaya politik Partai Golkar saat itu sehingga bisa selamat dari tekanan situasi politik yang sulit dan tidak menguntungkan itu. Menurutnya, pada era kepemimpinan Akbar Tajung, partai Golkar menjalankan paradigma baru yang mencitrakan diri sebagai partai terbuka dan demokratis. “Golkar ketika itu bukannya melawan penentangnya secara arogan tetapi justru menjawab tantangan penentangnya secara piawai yakni mengubah strategi dan taktik politiknya dengan mengikuti perubahan arus politik yang berkembang saat itu. Dimana munculluapan tuntutan perubahan kearah tatannan yang lebih demokratis,” imbuhnya.

Untuk Bali sendiri, partai pemenang pemilu 2004 itu juga menjalankan strategi dan taktik politik yang tidak jauh berbeda, yaitu strategi politik mencari aman. Mengingat, paska reformasi terjadi eforia PDIP yang bergemuruh di Bali, membuat Golkar memilih tidak bersikap arogan untuk menantang partai pimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut. “Makanya dalam beberapa pemilukada kabupaten/kota di Bali, partai Golkar lebih memilih non kader atau tokoh independen ketimbang kadernya sendiri untuk menguatkan citra bahwa Golkar sekarang sudah menjadi partai yang terbuka dan demokratis,” jelasnya.

Strategi tersebut, lanjutnya, ternyata terbukti berhasil sehingga Golkar relatiftidak kehilangan suara cukup besar dalam beberapa pemilu legislatif dan bisa memenangkan beberapa pemilihan kepada daerah di Bali. “Bahkan dibeberapa kabupaten ada kencedrungan naik,” tandasnya.

Pilihan strategi politik mencari aman, menurutnya, juga menguatkan citra partai Golkar sebagai partai yang menjalankan politik oportunis guna menyelematkan diri dari situasi politik yang tidak menguntungkan. “Sebenarnya semua partai menjalankan politik opurtunis, tetapi Golkar sangat kentara sekali sehingga partai politik ini tidak berani memilih berada diluar lingkaran kekuasaan,” sebutnya.

Namun dari segi ideologi, menurutnya, justru partai Golkar belum memilik kejelasan ketimbang partai lainnya seperti PDIP. “Kalau PDIP, ideologinya jelas yakni nasionalis kerakyatan dan kebangsaan dengan menjadi partainya wong cilik. Tapi Golkar yang ideologinya kekaryaan, sampai sekarang tidak ada tokoh dan kader Golkar yang benar-benar berkarya. Gaya politiknya masih tetap sama tidak berubah sejak jaman orde baru dengan selalu menempel kepada kekuasaan dengan strategi politik opurtunisnya,” sindirnya.

Sementara itu, Pengamat Politik dari Fisip Univeritas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Dr. Drs I Nyoman Subanda, M.Si mengungkapkan semestinya yang direkomendasikan sebagai calon kandidat kepala daerah ialah kader terbaik yang sedang berada diposisi puncak struktur partai. “Yang penilaiannya berdasarkan track record, pengalaman politik, dan karir politik yang dibangun dari bawah, sebab kalau tidak begitu akan mengakibatkan kemandegan kaderisasi,” tandasnya.

Terkait pilihan partai Golkar yang lebih memilih calon kandidat kepala daerah dari unsur non kader, menurutnya, merupakan strategi politik dari Golkar untuk menggandeng tokoh yang mempunyai nilai jual ataupun mempunyai logistik (kekuatan modal). “Biarpun kadernya cuma jadi wakil, tetapi yang jadi playmaker (yang mengatur) tetap wakil. Sedangkan yang lain cuma simbul,”ujarnya.

Secara terpisah, Sekretaris DPD Golkar Bali, DAP Sri Wigunawati dengan tegas membantah tudingan partainya menjalankan politik opurtinis. “Sejak Golkar menjadi partai politik pada tahun 1999, yang pada saat itu Ketua Umumnya ialah Akbar Tanjung, partai Golkar menjadi partai politik dengan paradigma baru,” tegasnya,

Dengan paradigma baru tersebut, lanjutnya, menjadikan partai Golkar sebagai partai yang bersifat terbuka dan demokratis. Menyangkut keberadaan beberapa kepala daerah atau bupati di Bali yang diusung partai Golkar ternyata berasal dari non kader sedangkan kader Golkar sendiri hanya puas sebagai wakil bupati. Hal itu katanya, justru membuktikan partai Golkar sebagai partai yang terbuka kepada siapapun dengan kukuh memegang prinsip demokrasi.“Yang di pertegas melaluiJuklak No 2/DPP/Golkar/XII/2009 tentang Perubahan Juklak – 05/DPP / Golkar /IX/2005 mengenai Tata Cara Pemilihan Kepala Daerah dari Partai Golkar, dimana non kader diberikan peluang untuk diusung partai Golkar dalam pemilukada asalkan bersedia mengikuti mekanisme yang ada,” jelasnya.

Ia kemudian memaparkan, penentuan calon kandidat kepala daerah yang berasal dari non kader maupun kader dalam pemilukada ditentukan berdasarkan tingkat popularitas dari hasil survey. Selain itu, untuk yang berasal dari non kader mesti menyepakati dan patuh pada mekanisme perjanjian yakni untuk membesarkan partai atau memperjuangkan aspirasi masyarakat juga garis-garis yang ditentukan partai. “Jadi tidak asal comot begitu saja. Semuanya harus berdasarkan mekanisme yang ada,” tegasnya.

Terkait beberapa bupati di Bali seperti Bupati Badung, A.A Gde Agung dan Bupati Karangasem, I Wayan Geredeg yang oleh sebagian besar masyarakat dinilai bukan berasal dari kader Partai Golkar. Ia menegaskan bahwa A.A. Gde Agung sebenarnya sudah sejak lama memiliki KTA Partai Golkar. “Beliau pada saat mendaftar sebagai calon kandidat Bupati Badung lewat kendaraan partai Golkar untuk periode pertama (2005-2010) yang ketika itu masih menjadi notaris sudah memiliki KTA. Jadi beliau merupakan kader partai Golkar. Demikian juga dengan Wayan Geredeg. Sedangkan terkait pilihan Pak Gusti Lanang Rai yang ketika itu duduk sebagai ketua DPD Karangasem tetapi bersedia menjadi wakil, itu sudah ada pembicaraan dan kesepakatan antara pak Geredeg dengan pak Lanang Rai,” ujarnya menegaskan.(***)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline