Penanggalan yang ada di Indonesia pada zaman dahulu, terlebih Jawa dan Bali memiliki keunikan tersendiri. Hal ini dikarenakan penanggalan pada masa lampau yang menggunakan penyusunan kata tertentu, bukan menggunakan kata seperti yang digunakan pada saat ini.
Kalimat ini adalah sebuah sandi yang menjadi pengingat akan perayaan atau peristiwa saat suatu bangunan pada masa lampau didirikan. Penggunaan sandi dalam penanggalan ini biasa disebut sebagai kronogram.
Masyarakat secara kontemporer mengenal Candrasengkala lewat surat kabar Budi Utama keluaran Maret nomor 28. Dikatakan bahwa Candrasengkala merupakan karangan Ajisaka yang dibawa ke Jawa, namun untuk sumber lebih jelasnya tidak diketahui kesahihannya. Yang pasti, Candrasengkala telah berumur ratusan tahun dan telah menyatu dnegan budaya lokal Indonesia, terlebih Jawa dan Bali.
Penyusunan kalimat dalam Candrasengkala juga banyak yang diambil dari bahasa Sanskerta. (Raden Bratakeswa dan T.W.K. Hadisoeprapta. Keterangan Candrasengkala. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Jakarta. 1980. Hal.29)
Candrasengkala adalah turunan dari sistem kalender lokal yang telah dicatat, kalender itu merupakan kalender pranata mangsa yang bisa memiliki kegunaan sebagai kalender pencatat musim. Kalender ini kemudian berguna bagi para petani maupun nelayan untuk menentukan hari baik dalam melakukan pekerjaan seperti menanam padi dan berlayar.
Hal ini dikarenakan pengetahuan masyarakat lokal yang sejak dahulu sudah paham akan astronomi dan penghitungan matematika sederhana yang kemudian bisa tercatat kedalam kalender pranatamangsa.
Candrasengkala memiliki keterkaitan dengan budaya India yang dibawa ke Indonesia. dalam jurnal An Ethnomathematics Case Study of Candrasengkala: A Reversed Order Chronogram in Bali-Java Tradition (R A Apsari, J Junaidi, R Y Tyaningsih, G Gunawan. An Ethnomathematics Case Study of Candrasengkala: A Reversed Order Chronogram in Bali-Java Tradition. Dalam Journal of Physics: Conference Series (Vol. 1933, No. 1, p. 012075). IOP Publishing. Hal. 3) menjelaskan bahwa candrasengkala masuk di Indonesia diperkirakan sejak tahun 456 M, selanjutnya penanggalan yang digunakan di Jawa dan Bali mendapat pengaruh penanggalan yang berasal dari satu kitab astronomi dari Veda Jyotisha, yaitu kitab Suryacandra.
Selajutnya, penggunaan candrasengkala menjadi sangat penting dalam mendirikan bangunan, hampir selalu ada penggunaan candrasengkala didalamnya. Yang terpenting, penggunaan Candrasengkala bukanlah tentang pencatat tahun, melainkan hanya digunakan untuk mengenali tahun dan sebagai pengingat peristiwa besar zaman dahulu.
Penulisan Candrasengkala tidak hanya sekedar menemukan kalimat yang pas didalamnya, namun juga diperlukan penghitungan matematika. Hal ini membuktikan bahwa nenek moyang kita sudah memiliki pengetahuan mendasar atau local genius mengenai matematika sesederhana a+b = b+a dan juga sistem sandi.
Penulisan Candrasengkala juga unik, dari ujung kanan ke kiri dan mengandung kalimat tertentu yang relevan dengan kejadian sewaktu suatu bangunan didirikan atau bisa juga berisi pujian kepada raja dan donatur yang ikut membantu pelaksanaan pendirian suatu bangunan.
Contoh saja, Candrasengkala Candi Prambanan wwalung gunung sang wiku atau jika diterjemahkan adalah 778 Saka, atau 856 Masehi. Pemilihan penggunaan kalimat dalam membangun ini dirumuskan dalam Buku Keterangan Candrasengkala, bahwa setiap bilangan memiliki watak seperti yang terkandung dalam Macapat Dhandanggula sebagai berikut:
- Watak bilangan satu: Tunggal, Gusti, sujanma, semedi, badan, rupa, Surya, Candra, Kartika.
- Watak bilangan dua: Asta, kalih, nembah, ngabekti, netra, kembar, swiwi, suku, bujana.
- Watak bilangan tiga: Brama, Bahni, Nala, benter, kaya, kuku, Utawaka,Wignya, guna.
- Watak bilangan empat: Catur, warna, wahana, waudadi, dadya, keblat, toya, suci, nadi.
- Watak bilangan lima: Pandhawa, wisikan, guling, raksesa, galak, jemparing, Bajra, cakra.