Lihat ke Halaman Asli

Minhaji Ahmad

Orang Biasa

Dinasti Sang Kanjeng

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lazimnya, putra mahkota dipersiapkan untuk meneruskan tahta kerajaan. Dalam sebuah cerita pewayangan, Duryudana anak tertua raja Destrarestra adalah pewaris kerajaan Hastinapura. Sebagai keturunan raja, Duryudana mempunyai jaminan kultur-tradisi untuk menjadi penerus amanat kuasa kerajaan. Tidak perlu menjadi paling kuat, sekuat kakeknya Bisma. Tidak pula harus sehebat karibnya Karna, putra Kunti yang “dibuang” kemudian diasuh kusir Adirata. Duryudana tinggal meminta, kemudian restu pasti dia terima.

Tetapi inilah jebakan dinasti. Kenyamanan sering melupakan hak, melalaikan kewajiban. Kurawa seratus bersaudara, tampil arogan, angkara murka, haus kekuasaan dan segala sifat rakus-culas. Hak bangsa tergadaikan. Mental korup untuk kuasa tanpa batas melekat dalam diri putra Destrarestra. Bagi Duryudana, tidak perlu memaksakan teori John Locke berbagi kekuasaan. Sebab Hastinapura adalah kuasanya dan milik Ayahnya, Destrarestra secara absolut. Bahkan, ketika Widura, paman Kurawa-Pandawa menggagas konsep membagi kekuasaan Hastinapura-Indraprasastra untuk merajut konsolidasi keduanya. Akibat monopoli penguasaan sistem yang tidak adil, Duryudana memaksa Pandawa, saudara sepupunya melepas istana kerajaan Indraprasastra dan hidup menepi di hutan, melalui permainan dadu yang tidak fair dan transparan. Itulah tahta, subur dengan ambisi, tipudaya, tidak kenal saudara.

Bukankah setiap cerita berkorelasi, memberi gambaran akibat dari setiap perilaku kuasa yang melewati kepantasan. Ya, Dinasti 'Kanjeng' dari Bangkalan Madura yang dikenal kuat dan kokoh harus tertunduk-takluk dihadapan kebenaran hukum. Setelah sang penguasa KH. Fuad Amin Imron, menyerah dalam operasi tangkap tangan (OTT). Inilah fakta, ketika KPK meniup terompet “medan Bharatayuda” berarti perang melawan korupsi tidak boleh ditunda lagi. Jika selama ini kuasanya mendapatkan legitimasi “kebenaran” khas gelar keturunan. Bukan berarti menganggap setiap perilaku benar-sempurna. Jika nilai terbentuk dari asumsi masalalu yang sakral, bukan berarti kita toleran terhadap pengabaian fakta kebenaran. Apa yang membedakan cerita pewayangan ini dengan dinasti yang dibentuk melalui moral sejarah masa lampau yang panjang? Jelas adalah nama, pelaku dan peristiwanya tidak sama. Tapi, satu kesimpulan bahwa kekuasaan cenderung korup. Dan setiap perilaku kekuasaan yang korup pasti segera berakhir. Bagaimana kelanjutan cerita putra mahkota pewaris tahta dinasti ‘Sang Kanjeng’. Wallahu’alam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline