Lihat ke Halaman Asli

Ngayu Negeri Rahayu

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_106345" align="alignleft" width="300" caption="salah seorang pemangku adat Sembalun Lawang"][/caption]

Matahari belum kunjung memperlihatkan kuasanya. Di sini masih terasa dingin lembut membelai kulit. Di tanah lapang, di Sembalun Lawang, desa yang berada pada ketinggian 1.065 meter di atas permukaan laut di utara kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dingin semakin terasa saat angin berhembus menembus dedaunan, mendesau menyentuh ranting-ranting, menerpa kulit.

Biasanya, tanah lapang ini selalu lengang. Tapi kini terlihat tak sejengkal lepas dari pijakan kaki. Penuh, hiruk pikuk warga Sembalun dan penikmat penikmat adat berkumpul menjadi saksi perdamaian alam dan nurani. Lima tahun sekali, setelah panen besar terjadi, bawang putih, wortel, kentang dipanen ramai, para petani, para pemangku adat menyatu bersyukur atas rizki yang melimpahi setiap hari melalui budaya Ngayu-ayu.

Kalau pembaca kompasiana datang ke sini, bisa saya pastikan tak akan rugi, apalagi menyesal. Bunga-bunga selalu mekar indah berseri. Dingin akan diselimuti hangat mentari. Bukit-bukit menemani. Ini Ngayu Negeri Rahayu

Matahari belum kunjung memperlihatkan kuasanya. Di sini masih terasa dingin lembut membelai kulit. Di tanah lapang, di Sembalun Lawang, desa yang berada pada ketinggian 1.065 meter di atas permukaan laut di utara kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dingin semakin terasa saat angin berhembus menembus dedaunan, mendesau menyentuh ranting-ranting, menerpa kulit.

Biasanya, tanah lapang ini selalu lengang. Tapi kini terlihat tak sejengkal lepas dari pijakan kaki. Penuh, hiruk pikuk warga Sembalun dan penikmat penikmat adat berkumpul menjadi saksi perdamaian alam dan nurani. Lima tahun sekali, setelah panen besar terjadi, bawang putih, wortel, kentang dipanen ramai, para petani, para pemangku adat menyatu bersyukur atas rizki yang melimpahi setiap hari melalui budaya Ngayu-ayu.

Kalau pembaca kompasiana datang ke sini, bisa saya pastikan tak akan rugi, apalagi menyesal. Bunga-bunga selalu mekar indah berseri. Dingin akan diselimuti hangat mentari. Bukit-bukit menemani. Ini bagian dari kekayaan negeri. Kekayaan yang patut disyukuri, karena dengan ini kita akan bangga seribu kali. Negeri kita tak layak dijual, dijajah lagi, sejengkal saja darah ini berani digadai untuk ibu pertiwi.

Di sisi timur kita lihat bukit menjulang teduh, di utaranya lembah tunduk menyembah, di selatan jalan-jalan membelah, di barat gunung Rinjani diam memikat. Semua menjadi saksi kesyukuran para petani. Ini hari ketiga. Dua hari sebelumnya air telah diambil dari dua belas sumber mata air. Bermodal dua belas kendi peninggalan pemuka adat dibawa ke dua belas sumber mata air di dua belas arah mata angin.

Semua turut menyaksi. Ikut menapaki jejak-jejak kecil dan rapuh di balik-balik bukit. Di jalan-jalan subur berdebu. Yang muda memegang kendi, yang tua memimpin lagi. Prosesi terjadi berulang kali. Inilah air kehidupan. Lalu dikumpulkan di satu tempat, di satu pemuka adat. Inilah tradisi. Kenapa? Inilah kearifan lokal. Dengan mengambil air dari dua belas mata air, penduduk setempat percaya dapat turut menjaga alam. Caranya? Mereka mengurangi menggunakan pupuk berbahan kimia, mereka menggunakan air dan kerikil-kerikil dari dua belas sumber mata air sebagai pengganti pestisida dan pupuk kimia.

Hari kedua, setelah pagelaran seni; tari, nyanyi bernuansa ruhani, hingga musik-musik berbisik di malam hari. Semua tetap disyukuri. Indah membawa mimpi panen akan memenuhi lumbung-lumbung lagi tahun nanti. Esok hari semua harus bersiap mengakhiri prosesi, tiga kerbau sudah menanti. Malam larut semakin dingin.

Saat pagi menanti untuk dijamahi kembali, disinari mentari pagi. Semua siap bersemi. Indah mewarnai. Kuning kelopak bunga matahari terlhat sejuk menenangkan hati. Semua telah menanti di hari terakhir ini. Setelah tanah lapangan dibersihkan, kursi-kursi ditata, alunan gamelan sasak diperdengarkan kembali, semua duduk rapi. Tepat di atas kepala, mentari menyinari, tiga kerbau disembelih, dan kepalanya dikubur dengan sebuah sumber air di tengah lapangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline