Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana CS Lewis Mendorong Seorang JRR Tolkien dalam Menulis "Lord of the Rings"?

Diperbarui: 28 September 2020   09:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

image from www.pbshawaii.org

Pada abad ke-20, dua penulis asal Inggris, J.R.R. Tolkien dan C. S. Lewis, mendominasi imajinasi dunia dengan tulisan-tulisan mereka, yang telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 29 bahasa, dicetak dalam lebih dari 300 juta eksemplar dan terpilih sebagai film dengan penghasilan lebih dari $ 6,4 miliar digabung dengan total pendapatan box office di seluruh dunia. 

Meskipun bakat individu dari kedua penulis ini tidak dapat diragukan oleh pembaca saat ini, banyak yang mungkin tidak menyangka bahwa Tolkien dan Lewis pernah menjalin persahabatan erat. Hubungan yang secara langsung memberi pengaruh atas terciptanya The Lord of the Rings dan Chronicles of Narnia.

Setahun setelah Tolkien mulai mengajar di Merton College di Universitas Oxford, dia betemu dengan sesama profesor yang tak lain adalah Lewis, dalam pertemuan fakultas pada tahun 1926. Tapi, pertemuan tersebut tidak serta merta membuat mereka menjadi sepasang sahabat. 

Dalam buku hariannya, Lewis mendeskripsikan Tolkien sebagai "orang kecil yang ramah dan pucat serta fasih dalam berbicara -- tidak ada cela dalam darinya." Keduanya segera terikat pada minat yang sama pada mitologi Norse, yang darinya, Tolkien mampu menciptakan dunia The Lord of the Rings.

Sekitar empat tahun menjalin persahabatan, Tolkien dan Lewis mengeksplorasi kecintaan mereka pada dongeng-dongen kuno tentang dewa dan pahlawan melalui sebuah komunitas sastra di Oxford yang dikenal sebagai Inklings, yang mengadakan pertemuan informal mereka di sebuah ruangan yang kemudian mereka namai sebagai Ruang Kelinci, di sebuah pub bernama the Eagle and Child di Jalan St. Giles kampus Oxford. 

The Inklings selalu mengadakan pertemuan untuk membahas dan melatih obsesi menulis satu sama lain, dan di sinilah Tolkien dan Lewis mendapatkan inspirasi untuk menciptakan dunia fantasi mereka.

"Mereka yakin bahwa mereka adalah dua orang aneh yang peduli dengan cerita yang tidak dipedulikan orang lain, yang tertarik pada periode sejarah sastra yang tidak diminati orang lain," kata Dr. Alan Jacobs dari Bylor University. "Mereka sangat yakin akan isolasi mereka dari arus utama budaya intelektual, yang saya yakin, mungkin mereka berdua tidak peduli akan hal itu."

Suatu hari, Tolkien memutuskan untuk menunjukkan kepada Lewis draf awal tentang apa yang akan menjadi landasan utama Middle-earth, yaitu kisah cinta Beren dan Lthien. Lewis mendorongnya untuk terus memetakan alam semesta yang dia buat. Sementara itu, Lewis mengalami krisis iman. 

Tetapi pada suatu malam di musim gugur tahun 1931, dia berjalan-jalan dengan Tolkien dan sesama anggota Inklings, dan saat fajar tiba, dia memutuskan untuk kembali lagi ke agama Kristen. Dedikasi ulang terhadap keimanannya ini memicu imajinasi Lewis, dan dia mulai memasukkan tema-tema Kristen ke dalam tulisannya. 

Pada gilirannya, Lewis mendorong Tolkien untuk menghidupkan dunia fantasinya ke dalam halaman demi halaman ketika dia mengalami kebuntuan dalam menulis. "Hutang tak terbayar yang harus saya bayar kepada (Lewis) bukanlah 'pengaruh' seperti yang biasanya dipahami orang lain, tetapi dorongan semata," tulis Tolkien dalam sepucuk surat kepada Dick Plotz, "Thain" dari Tolkien Society of America, pada tahun 1965. "Dia sudah lama menjadi satu-satunya pendengar saya. Hanya dari dia saya pernah mendapat gagasan bahwa 'tulisan' saya bisa menjadi lebih dari sekadar hobi pribadi."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline