Menjadi dewasa itu menyakitkan. Beban dan tekanan dari segala sisi. Menjadi dewasa itu seperti memikul beban berat di pundak. Trauma masa kecil diam-diam menggerogoti tubuh ini seperti penyusup, membuat jiwa ini terluka perlahan, tanpa sadar.
Semalam aku dan sahabatku berbincang banyak hal soal problematika menjadi dewasa yang ternyata kita sama-sama merasakannya. Ada banyak luka masa kecil, trauma dalam tubuh kita yang diam-diam memengaruhi jiwa dewasa kita. Lubang-lubang hitam dalam hati kita yang seakan sulit untuk ditutup, sekali pun semenit kita mencoba bahagia dan menerima keadaan. Lubang itu terus menganga lebar dan semakin lebar.
Aku selalu beepikir, orang dewasa hanya punya waktu luang seluang-luangnya ketika malam hari. Tapi anehnya, malam hari sering aku pakai buat merenung, dan ujung-ujungnya overthinking. Ada banyak hal yang orang dewasa pikirkan, masa depan, orang tua, karir, percintaan, bahkan pernikahan. Sering rasanya aku ingin kabur.
Tapi nyatanya, kita seperti bukan makhluk bebas lagi ketika menjadi dewasa. Kita punya banyak pertimbangan ini dan itu. Yang ujung-ujungnya kita akan kembali juga ke lubang semula.
Seperti dalam buku The Myth of Sisyphus, hidup ini meaningless. Kita adalah Sisyphus yang terus mendorong batu besar dari bawah ke atas bukit, ketika batu itu jatuh ke bawah, kita akan membawanya kembali ke atas, berulang-ulang.
Hidup ini memang nggak bermakna, tapi jangan dipikirkan. Teruslah hidup sampai di episode terakhir. Mungkin sampai bosan. Mungkin sampai kita menemukan arti dari "untuk apa kita hidup?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H