Sekali Lagi tentang Pendamping Desa
Oleh Hasim Adnan
Penulis ingin mengawali tulisan ini dengan menuturkan pengalaman penulis manakala mulai melakukan kerja-kerja pendampingan di tingkat akar rumput. Saat itu, ketika era reformasi bergulir, kran kebebasan politik mulia terbuka lebar. Akses ekonomi yang sebelumnya dikuasai segelintir orang (bac: elit) mulai mendapat celah untuk digugat rakyat.
Salah satu dosa warisan Orde Baru adalah banyaknya petani tuna kisma (tidak memiliki lahan) yang membuat jurang antara si miskin dan si kaya semakin menganga. Sambil merujuk hasil sensus pada tahun 1973, Gunawan Wiradi mengemukakan bahwa 60% petani di Jawa masuk ke dalam kategori usaha tani di bawah 0,5 hektar, dengan rata-rata 0,25 hektar. Bahkan di daerah-daerah kantong kemiskinan, banyak sekali ditemukan petani tuna kisma. (Jakarta: 1985)
Sementara itu, tidak sedikit banyak lahan negara yang terlantar akibat salah urus perusahaan pemegang HGU (Hak Guna Usaha) akibat tidak siap menghadapi dampak krisis ekonomi pada 1997. Bila saja waktu itu kebijakan Soeharto tidak diskriminatif, mungkin ceritanya akan lain. Rakyat tidak akan melakukan aksi reklaiming sebagai upaya perlawanan terhadap ketidakadilan regim Soeharto.
Dan sejarah pun mencatat bahwa tak lama setelah regim Soeharto runtuh, beragam aksi perlawanan pun muncul ke permukaan. Salah satu aksi yang mewarnai kejatuhan regim Soeharto adalah aksi para petani tuna kisma. Seperti yang terjadi di kawasan perkebunan teh Maleber-Baros, Cipanas-Cianjur Jawa Barat. Di kawasan inilah penulis bersama sahabat-sahabat seperjuangan mulai melakukan pendampingan kepada para petani penggarap yang memang tak miliki lahan.
Sebelum kami ikut terlibat dalam proses pendampingan, aksi reklaiming yang dilakukan berjalan secara sporadis dan cenderung anarkis, sehingga sangat mudah untuk masuk ke dalam jebakan muslihat pengusaha pemilik HGU dengan aparatus yang menyokongnya. Persis di saat itulah, kami mulai melakukan pendidikan politik dan mulai mengajak para petani penggarap untuk merapatkan barisan.
Tentu saja prosesnya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Banyak hadangan, liku dan aral yang melintang dalam proses pendampingan yang kami lakukan di tengah keterbatasan dukungan dan minimnya pengalaman. Namun satu hal yang pasti, salah satu misi propetik kami waktu itu adalah bagaimana agar para petani bisa secara mandiri mampu mengorganisasikan dirinya sendiri. Wal hasil, dalam hitungan tidak lebih dari tiga tahun, proses transformasi yang dilakukan mulai membuahkan optimisme yang ditandai dengan kemampuan para petani penggarap mengorganisasikan diri mereka sendiri.
Saat itu kami menyadari bahwa bila kehadiran kami dalam proses transformasi terlalu sering maka hanya akan memperlambat proses kemandirian organisasi. Agar proses pematangan kemandirian organiasi tidak terhambat, maka strategi yang kami lakukan adalah bagaimana melahirkan pendamping organik dari kalangan mereka sendiri yang kesehariannya hidup bersama para petani penggarap. Dan wow, Alhamdulillah atas perkenan-Nya jualah, strategi ini berhasil melanjutkan proses transformasi secara gradual. Dan kini, perlahan tapi pasti, status kepemilikan lahan untuk para petani penggarap sudah tinggal memetik hasilnya. Sesuatu yang pada awalnya tak pernah terbayangkan bisa mencapai hingga sejauh itu.
Menakar Pendamping Eks. PNPM Perdesaan
Lalu apa kaitannya pengalaman penulis di atas dengan pendamping Eks. PNPM Perdesaan yang akhir-akhir ini masih ngotot mempertahankan eksistensinya untuk terus dijadikan pendamping desa tanpa harus melalui proses seleksi ? Tujuan pertama adalah penulis ingin menggugat peran mereka selama ini dalam melakukan proses pendampingan yang dalam amatan penulis layak dan perlu untuk dievaluasi.