ada bulir menggenang, butir bergulir mengambang,
desak ketak-mengertian, gamang dan rasa terbuang,
menghadapmu namun ragu,
menganga namun tergugu,
masih adakah kata-kata yang dapat melukiskan warna risau,
formasi kacaunya rangkaian huruf mencerminkan biru ungu galau,
hanya kau yang bisa tersentuh oleh yang mengalir dari mata air itu,
kiranya basahnya kau hitung tidak percuma di kirbat, seperti katamu,
sebab dengan malu ragu risau galau biru merah ungu
aku kini hanya bisa tersengguk pilu,
ingin pergi namun ku lebih tak berani,
sebab tanpamu akan lebih sakit nanti
setelah kian panjang waktu lelah terus berlari,
kian lemah langkah jauh tiada tempat berhenti
kelak padamu juga ku pasti kembali
sebab itu biarlah aku diam disini
di kakimu wahai sang maha mengerti
hitunglah aku puing tak berarti,
percaya pasti kau belas kasihi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H