Lihat ke Halaman Asli

Jago

Diperbarui: 12 Oktober 2015   13:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 GUMPALAN asap membubung tinggi di langit selatan, padahal beberapa menit lalu, Si Jago yang mengamuk di ujung utara desa, baru selesai dijinakkan, Junaidi dan warga kalang-kabut dibuatnya.

Si Jago sudah menghanguskan rawa-rawa kering September dan mulai menjalar ke perkebunan. Dua hektar kebun pak Sopian sudah habis dilahapnya. Disebelah  kebun pak Sopian adalah kebun Pak Arpan, kebun Pak Salim ada disamping kebun Pak Arpan. Didepan kebun Pak Salim, disitulah letak kebun Junaidi, hanya terpisah jalan setapak. Masuk dalam daftar antrian amukan Si Jago selanjutnya.

Junaidi was-was, buru-buru ditunggangi motor tuanya, setelah diengkol kurang lebih tiga belas kali, akhirnya motor tua itu menyala. Rupanya si motor tua mengerti keadaan genting sang majikan, biasanya  perlu tiga puluh tiga kali engkol baru menyala.

Tancap gas, dengan kecepatan penuh junaidi memacunya. Dua puluh lima kilometer per jam. Maklum motor tua, jalan bergelombang dan gelap, diselimuti asap. Jarak pandang tak sampai lima meter.

Di kebun Pak Arpan, Pak Arpan, Pak Sopian, Pak Salim, Junaidi dan warga kocar-kacir berlarian kesana kemari meredam Si Jago. Memang tak mudah, terlebih di musim kemarau. Minim alat, tak ada air. Dengan peralatan seadanya,  yakni ranting pohon dan daun, setelah kurang lebih 3 jam bertarung, akhirnya Si Jago berhasil dijinakkan. Hasilnya, kebun Pak Arpan hangus sebagian. Untuk sementara, kebun junaidi, aman.

“Jun, jangan lupa Minggu pagi kumpul di balai desa, tetanggamu di ingatkan. Menyesal kalau sampai tak datang” Sebelum meninggalkan kebun, Pak Salim kembali mengingatkan Junaidi. “Siap Pak!”

***

SEPULANG sekolah, wajah April ditekuk, kusam, sekusam langit September. Ia malu. Malu pada semuanya, terutama kepala sekolah, guru dan teman-temannya. Tadi pagi, dia dipanggil kepala sekolah. SPPnya nunggak tiga bulan, terancam tak bisa mengikuti ujian tengah semester.

Dia bukannya tak tahu kondisi keluarga. Dia tahu, Bapak-Ibunya hampir tiap hari uring-uringan karena harga karet terus menurun, sedangkan harga kebutuhan sehari-hari terus meroket. Sebab itulah, dia tak sampai hati, merengek pada Bapak-Ibunya.

“Harga beras naik lagi, jadi dua belas ribu. Kamu juga tahu, sudah dua bulan lebih Bapakmu tak menyadap. Kobaran api dimana-mana, siang malam, Bapakmu harus berjaga-jaga. Musim kemarau tak ada getah, sedangkan harga getah semakin murah. Tak bisa menutupi kebutuhan sehari-hari,” keluh Ibunya sambil menangis.

“Harga bensin seliter sebelas ribu. Sekolahmu jauh, pulang pergi setiap hari, paling tidak butuh dua liter. Belum uang jajanmu. Belum lagi pulsa hapemu, pulsa lima ribu harganya sepuluh ribu, pulsa sepuluh ribu harganya hampir dua puluh ribu,” Ibu berhenti, mengambil nafas panjang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline