Lihat ke Halaman Asli

Perang Perusahaan Nasional vs Perusahaan Multinasional

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berapa banyak produk Unilever yang anda gunakan dalam sehari? Berapa total uang yang anda habiskan untuk membeli makanan dan minuman keluaran Danone? Berapa jumlah barang elektronik buatan perusahaan asing yang dimiliki? Dan bila anda seorang perokok, berapa bungkus tembakau impor yang anda hisap per harinya?

Tanpa disadari segala aktivitas kita mulai dari bangun pagi hingga larut malam telah membantu pihak asing dalam melanjutkan proyek kolonialisme-nya. Melalui perusahaan multinasional atau transnasional, pihak asing ingin melakukan dominasi struktural dan ekploitasi ekonomi negara-negara berkembang dengan cara-cara elegan. Semuanya demi satu tujuan yakni akumulasi keuntungan kepada negara-negara maju.

Keberadaan perusahaan multinasional semacam Unilever (Inggris), Danone (Perancis), Philip Morris (Amerika Serikat), dan lain sebagainya, kemudian membentuk seperti agen ‘sindikasi internasional’ untuk merumuskan berbagai agenda tersembunyi ke dalam suatu produk regulasi di tingkat internasioal dan melahirkan traktat atau konvensi.

Salah satunya adalah ASEAN-China Free Agreement (ACFTA) dan Asean Economic Community 2015 yang menghilangkan seluruh hambatan mekanisme pasar menuju terciptanya perdagangan sistem pasar bebas. Selain memberikan kesempatan besar bagi perusahaan-perusahaan untuk mengembangkan sayap investasinya, sistem ini berimplikasi kepada proses yang kuat menggusur yang lemah. Pasar bebas ini jelas merupakan peluang sekaligus tantangan bagi produk-produk Indonesia.

Berdasarkan data yang dilansir oleh Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Indonesia Kementerian Perdagangan, saat ini terdapat sekitar 440.620 merek asli Indonesia yang sudah terdaftar di pasar dunia. Bahkan, puluhan merek lokal yang sudah populer di dalam negeri dan mampu menembus pasar global.

Namun, faktanya banyak diantara masyarakat yang belum mengetahui bahwa merek yang sedianya merupakan produk asli nasional dianggap sebagai produk asing. Bila pun mengetahui bahwa itu buatan lokal, malah meragukan kualitasnya. Padahal banyak sekali produk lokal yang mampu menembus pasar dunia, namun terkadang kita kurang tanggap dan akhirnya memilih produk milik perusahaan asing.

Misalnya merk parfum Casablanca. Banyak yang mengira nama ini adalah parfum produk Perancis. Padahal, parfum ini diproduksi di Muara Kapuk, Jakarta. Demikian dengan merk keramik Essenza produksi PT Intikeramik Alamsari Industri. Produk keramik ini telah berhasil memikat konsumen Singapura dan sejumlah negara Asia lainnya. Bahkan, selain cukup laku di benua AS, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah, merk ini juga bisa mencuri perhatian konsumen Italia yang selama ini dikenal salah satu negara penghasil keramik terbaik dan terbesar dunia.

Selain itu, pada industri ketahanan pangan, Indonesia memiliki PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk yang mampu menyaingi Unilever, Danone, Numico, dan perusahaan multinasional. Perusahaan yang didirikan pada 1990olehSudono Salim ini mengekspor bahan makanannya hinggaAustralia,Asia, danEropa. Dalam beberapa dekade ini Indofood telah bertransformasi menjadi sebuah perusahaanTotal Food Solutionsdengan kegiatan operasional yang mencakup seluruh tahapan proses produksi makanan, mulai dari produksi dan pengolahan bahan baku hingga menjadi produk akhir yang tersedia di rak-rak pedagang eceran.

Pada industri elektronik, Indonesia memiliki Polytron yang mampu menembus pasar Eropa, ASEAN, Timur Tengah, dan Australia. Bahkan, Polytron bisa dikatakan kini tinggal satu-satunya produk nasional ‘tanpa prinsipal’ yang masih bertahan, setelah melalui perjuangan panjang dan gelombang pasang surutnya industri elektronik nasional.

Untuk industri tas terdapat merek-merek yang sudah populer seperti Eiger, Export, Neosack, Bodypack, Nordwand, Morphosa, World Series, Extrem, Vertic, Domus Danica, Broklyn, dan lain-lain, merupakan produk yang dihasilkan oleh B&B Incorporations. Perusahaan asal Bandung ini berdiri sejak tahun 1990 dan fokus pada penyediaan tas dan perlengkapan adventure yang merajai pasar di Indonesia. Eiger telah merambah ke Singapura, Malaysia, Brunei dan juga Jerman sebagai pintu masuk menuju pasar Eropa. Untuk menjangkau pasar global, Eiger tetap memakai merk sendiri supaya tumbuh brand awareness di kalangan konsumen global.

Pada industri sepeda tentu tidak asing dengan Polygon,  salah  satu merk  papan atas di pasar sepeda internasional. Sepeda produksi PT Insera Sena asal Sidoarjo ini sejak awal tujuan produksi adalah untuk ekspor. Dengan kapasitas produksi per tahun 360 ribu unit, 70 persen produknya diekspor ke Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Australia. Sementara 30 persen sisanya untuk pasar lokal. Selain memproduksi Polygon, PT Insera Sena juga mendapat order dari berbagai merk ternama yang telah menembus pasar dunia. Di antaranya Scott, Mustang, Insera, Raleigh, Miyata, meski tak punya hak untuk menjual. Untuk Scott pasar utamanya adalah Amerika Serikat, Belgia, Norwegia, dan Rusia. Mustang untuk pasar negara Skandinavia, Sedangkan Insera untuk pasar Finlandia.

Selain itu masih banyak lagi produk-produk nasional yang telah mendapatkan pengakuan dunia. Seperti poduk pelumas Pertamina yaitu Fastron, Prima XP, dan Mesran yang telah menjangkau 23 negara di dunia. Juga terdapat Broco, sebuah merek ternama di bidang alat-alat dan instrumen kelistrikan. Industri tekstil pun banyak menghasilkan brand lokal yang mendunia. Salah satunya adalah Peter Says Denim. Merk celana jeans, t-shirt, dan topi milik Peter Fimansyah ini kini menjadi busana favorit band internasional seperti Before Their Eyes dan We Shot The Moon dari Kanada, serta Not Called Jinx dari Jerman.

Menurut Pengamat Ekonomi dari ECONIT, Hendri Saparini, bahwa hampir seluruh sektor industri di Tanah Air dikuasai oleh asing melalui PMA (penanaman modal asing) atau penguasaan saham perusahaan-perusahaan lokal oleh investor mancanegara. Celakanya, produk dalam negeri dibiarkan bersaing sendiri tanpa bantuan fasilitas dari pemerintah yang dapat memperkaut daya saing. Akibatnya, produk impor masuk ke pasar dalam negeri sangat deras dan secara perlahan mencaplok pasar produk bangsa sendiri.

Lanjutnya, proteksi pemerintah melalui peraturan yang tegas dan ketat, seperti penetapan bea masuk impor dan standar mutu yang tinggi dipastikan dapat menguatkan daya saing produk nasional ditengah pasar bebas. Selain ketegasan peraturan, pemerintah seharusnya juga menjadi leader dalam menyerap produk dalam negeri melalui program-program riil yang bertujuan menumbuhkan kecintaan masyarakat untuk menggunakan produk dalam negeri.

Nasi sudah menjadi bubur, pasar bebas telah dipilih pemerintah sebagai resep pembangunannya. Resep solusi krisis ekonomi ala IMF dan Bank Dunia itu membuat Indonesia tidak berdaya menolak kepentingan dominasi asing. Oleh karenanya, agar gejala mati surinya industri nasional tidak semakin parah, mari gunakan dan jadikan produk dalam negeri sebagai tuan rumah di negaranya sendiri. Banyak keuntungan dari penggunaan produk perusahaan-perusahaan dalam negeri ketimbang asing. Selain sektor industri bisa tumbuh cepat, kondisi ekonomi yang ditopang oleh kegiatan bisnis dan industri pun akan tumbuh hebat.

Sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline