Bukan hanya pada aspek kekayaan alam negara, namun nilai-nilai budaya, karakter bangsa, dan interaksi sesama warga sudah mulai terkikis. Kita harus tegas untuk menjaga yang lama, dan berjuang menyesuaikan dengan hal baru.
Permasalahan
Sudah sejak lama kita sepakati dan kita agung-agungkan bahwa negara Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat mengagumkan seperti gunung emas, flora dan fauna, kekayaan budaya, bahasa dan bahkan kekayaan sejarah yang sangat menarik dan seperti tak ada habisnya untuk dibahas. Bagaimana tidak, hampir semua sumber daya alam ada di negara ini, agama-agama besar ada di Indonesia, dan beberapa hal seperti upacara adat dan lain sebagainya yang menjadikan Indonesia sebagai bangsa dengan berbagai keragaman. Hingga akhirnya tercetuslah sebuah semboyan "bhineka tunggal Ika" sebagai simbolis pemersatu keberagaman suku, bahasa, dan agama.
Namun sayang, selain dikenal dengan kekayaan alam dan budaya yang begitu mewah, Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi, banyak masyarakat miskinnya yang belum terentaskan, Negara dengan ibu kota yang memiliki reputasi kurang menyenangkan: lalu lintas macet, banjir hampir setiap tahun, dan berbagai tindak kekerasan. Kebersihan umum juga tidak bisa jadi kebanggaan bangsa. Sampah berserakan di pasar, jalanan, tempat umum, dan memenuhi sungai-sungai, menyebabkan kebanjiran (Sarwono, 2015).
Ketimpangan status ekonomi sosial pun sangat terasa jauh. Masih ada beberapa saudara kita yang berburu untuk mendapatkan makanannya di pedalaman sana, dan beberapa lainnya mencari makan melalui perundingan bisnis, investasi, jual beli saham, dan bahkan harus menyesuaikan jadwalnya dengan jadwal perusahaan luar negeri. Kita harus fair, walaupun sudah banyak perbaikan-perbaikan yang dilakukan, namun masih banyak juga masyarakat yang belum tersentuh akan perbaikan tersebut.
Jika kita amati, beberapa permasalahan yang dibahas di atas memiliki kesamaan yang sangat transparan terutama bagi yang mendalami bidang psikologi. Titik tengah permasalahan tersebut terletak pada "perilaku manusia"nya. Kita ulas lagi sedikit. Apakah tidak ada peraturan, nilai, dan norma yang melarang manusia (seluruh lapisan warga Indonesia; rakyat, Mentri, pemimpin, dan lain sebagainya) untuk tidak melakukan tindak korupsi?
Kita sepakat bahwa mencuri atau mengambil hak milik orang lain tanpa persetujuan adalah perilaku yang tidak bermoral, baik dari segi agama (Islam terutama yang penulis ketahui) maupun dari nilai-nilai budaya yang ada di lapisan masyarakat. Pertanyaannya di sini adalah, apa yang menyebabkan seseorang melakukan perilaku korupsi? Mengapa dia melakukannya? Dan mengapa dia berani melanggar peraturan yang telah ditetapkan?.
Jika kita telisik lebih dalam, di era ini bangsa Indonesia sudah kehilangan banyak karakternya sebagai orang indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang memiliki karakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Hilangnya karakter tersebut disebabkan oleh berbagai banyak hal. Sebagai contoh. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengaku berprofesi sebagai entertainer atau public figure (walaupun tidak tenar-tenar banget) yang berperilaku tidak layak untuk ditiru.
Berapa banyak YouTuber yang memaki-maki sesama profesinya, berbicara kasar, dan bahkan berani membuat konten-konten yang kurang mendidik. Orang dewasa, dengan perkembangan kognitif yang sudah mencapai tahap operasional formal setidaknya sedikit banyak dapat menyaring informasi yang diterima. Namun bayangkan jika informasi-informasi ini ditangkap langsung oleh anak-anak yang struktur kognitifnya belum terbentuk secara utuh?
Umumnya, anak melakukan proses belajar menggunakan teknik modelling (teknik belajar dengan observasi perilaku dan tindakan orang lain yang nantinya akan digunakan sebagai pedoman berperilaku) disadari ataupun tidak. Sebagai contoh, jika setelah menonton salah satu vidio di YouTube lalu anak-anak meniru gaya bahasa, ucapan, bahkan kata-kata yang digunakan, maka role model pada belajar modelling ini sudah menjadi penyumbang pembentukan struktur kognitif anak. Contoh lain. Banyak teman-teman yang lahir pada tahun 90an bercerita bahwa pada masa kecilnya mereka ingin menjadi seperti power ranger merah, kapten Tsubasa, atau sekuat Goku ketika mereka sudah dewasa.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa tanpa disadari anak-anak telah mengalami proses belajar menggunakan prinsip modelling ini. Model yang dirasa baik akan mudah ditiru anak, terutama ketikamodel yang dijadikan acuan tersebut terkenal dan disukai oleh teman-teman sebayanya. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika anak-anak jaman sekarang merasa asyik dengan konten vidio YouTube yang tidak mendidik lalu berkata "Aku ingin menjadi seperti dia di Masa depan?" atau tiba-tiba anak perempuan kita bicara "kalian semua suci aku penuh dosa" setelah menonton vidio tersebut.