Lihat ke Halaman Asli

Transisi Kita dari Era Partai ke Era Tokoh?

Diperbarui: 18 Februari 2016   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Sebelumnya, saya ingin memberitahu saudara bahwa saya sangat menghormati presiden kita bapak Jokowi. Walau bagaimanapun, beliau masih presiden kita. Jika terdapat ilustrasi atau deskripsi yang tidak saudara sukai, mohon maaf, hal tersebut tidak ada pretensi untuk merendahkan, sama sekali tidak. Saya hanya coba memberikan pandangan apa adanya. Jika setelah membaca tulisan ini ada hal yang menyinggung fanatisme-buta saudara terhadap suatu hal, mohon maaf, itu tidak disengaja. Terimakasih.)

Pilpres 2014 bagi saya adalah pemilu paling fenomenal yang pernah terjadi di Indonesia. Pada pemilu tersebut kita bisa melihat bagaimana rakyat ternyata memilih seorang presiden yang sangat jauh dari gambaran selama ini tentang sosok pejabat, apalagi kemudian menjadi pemimpin nomor satu bangsa ini.

Sosok kurus, berwajah melankolis (baca: murung), dandanan murah (walau orangnya kaya), terlihat tidak fit, dan masih banyak lagi, bisa menarik simpati masyarakat lebih baik daripada seorang yang tegap penuh wibawa dengan tatapan mata berkarakter. Jika seandainya tim Jokowi tidak sigap mempromosikannya seperti selama ini dan pemilih hanya tau Jokowi dari gambar, saya yakin 100%, orang-orang pasti lebih milih Prabowo.

Tapi yang paling menarik, ternyata gambaran visual dan ciri fisik Pak Jokowi ini malah menggambarkan sosok sederhana yang terkesan tidak mencari kemewahan sebagai pemimpin, melainkan menjadi ciri sosok yang tak segan-segan bekerja bersama rakyat. Lebih merakyat, menyerupai rakyat. Kemudian ia jadi populer.

Tapi sudahlah, itu hanya sedikit gambaran. Yang ingin saya sampaikan adalah selain gambaran Jokowi di atas, ada beberapa hal-hal yang cukup berbeda dari pemilu 2014 yang memberikan sinyal bahwa akan ada perkembangan fenomena dari rekonstruksi gaya perpolitikan negeri ini.

Pertama, untuk pertamakalinya pasca-reformasi pemilihan presiden betul-betul membelah massa menjadi 2 bagian. Pilihan yang sedikit menimbulkan fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu tokoh yang diidolakan. Jika tidak sepaham, orang akan lebih gampang mengenali siapa yang pantas dijadikan musuh. Hal ini berbeda dengan pemilu-pemilu pasca-reformasi sebelumnya. Pasca-reformasi masyarakat Indonesia dikejutkan sekaligus dimanjakan dengan begitu banyak pilihan.

Pilpres 2014 yang hanya menyediakan 2 pasangan calon, yang tentu saja membuat masyarakat menjadi hitam-putih. Kalau seseorang memilih 1 pasangan, maka seperti ada tanda tersirat bahwa secara politis ia telah memiliki lawan yang sering disebut “kubu sebelah”. Tidak jarang di masyarakat terdengar orang dalam satu keluarga, misalnya paman dengan ponakan, bertengkar hanya karena selera pemilihannya berbeda. Apalagi di tengah masyarakat, di warung orang bisa saja bertengkar gara-gara ada yang tiba-tiba berkomentar jelek tentang salah satu calon, serta-merta si pengomentar dianggap simpatisan kubu lawan. Pada titik ini, tensi fanatisme politik tiba-tiba meningkat.

Kedua, munculnya figur pemimpin yang bukan orang kuat partai. Pertanyaan yang muncul pada tahap ini adalah, apakah presiden Jokowi dipilih karena beliau diusung PDI-P? Atau Presiden Jokowi dipilih karena ia adalah Jokowi? Atau PDI-P menang pemilu partai karena mereka memiliki Jokowi? Jika dilihat dari pemilu sebelumnya ada peningkatan suara PDI-P sekitar 64% pada pemilu 2014. Kalau saya pribadi berasumsi keberhasilan PDI-P di pemilu 2014 karena ada andil yang besar setelah mereka memunculkan nama Jokowi ke permukaan. Lambat-lambat, simpati yang dihisap Jokowi dari masyarakat merembes ke PDI-P sehingga popularitas partai ini juga ikut terdongkrak.

Hal ini berbanding terbalik dengan Demokrat sebagai kampiun pada pemilu sebelumnya. Setelah 2 periode memimpin Indonesia, bisa dikatakan figur citra SBY sebagai orang kuat Demokrat segera melindap setelah adanya sosok idola baru di tengah masyarakat. Demokrat bisa jadi dinilai tidak lagi dapat menjadi solusi karena ketidak-puasan dari 2 periode jabatan yang  diemban figurnya, ditambah tidak adanya tokoh yang bisa diproyeksikan untuk maju memimpin lagi.

Ketiga, model kampanye digital menampakkan hasil yang sangat signifikan. Bukan berarti kampanye digital adalah hal yang baru di Indonesia, tetapi model kampanye ini memperlihatkan bagaimana lalu-lintas penyebaran informasi secara viral betul-betul berdampak. Hal ini juga berlaku untuk kampanye hitam yang pada masa pilpres banyak terjadi. Ketika satu tokoh dikaitkan dengan sebuah isu miring, orang dengan gampang berprasangka kubu mana pelakunya.

Ada banyak isu yang dihembuskan kemudian merambat ke mana-mana. Salah satu yang terdampak oleh pola ini adalah bagian masyarakat yang memiliki keterbatasan akses pada internet. Untuk kelompok yang memiliki kemudahan akses, ketika mebaca atau melihat sebuah isu miring berkembang di internet, mereka sekaligus juga dapat menetralisir dirinya sendiri dengan mencari informasi tandingan. Sedangkan kelompok dengan akses terbatas, ketika dihembuskan ke telinganya sebuah isu, kemungkinan besar akan terpengaruh tanpa sempat mencari kebenaran informasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline