Lihat ke Halaman Asli

Thank's Allah! Tahun Ini Lebaranku Jadi Lebih Bermakna

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minal A’idhin Wal Fa ‘izhin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin saya pribadi ucapkan kepada seluruh kompasioner semua.

Seperti tahun-tahun sebelumnya selepas shalat Id, saya biasanya langsung ke makam ayah bersama keluarga besar kami. Namun kali ini sedikit berbeda karena saya ke makamnya sendiri. Keluarga besar saya pada mudik semua.

Sesampai di sana saya berdoa sebentar dan berbagi bersama anak-anak di sekitar makam. Sedang asyiknya bercengkrama dengan anak-anak kecil di sekitar makam, tak sengaja pandangan saya tertuju kepada salah satu pojok makam yang kebetulan tidak jauh dari tempat saya berada. Tampak seorang wanita paruh baya sedang duduk berdoa berlinang air mata bersama seorang anak laki-laki di sampingnya. Melihat keadaan itu saya jadi teringat ibu saya, kemudian tergerak hati ini ingin mendekati ibu itu. Saya mendekati beliau seraya memberi salam dan mencoba untuk ngobrol dengannya:

“Assalamu’alaikum bu, boleh saya duduk menemani ibu ?”, tanyaku.

“Wa’alaikum salam, silahkan dek !”, jawab si ibu sambil tersenyum.

Di lihat dari nama yang tertera di batu nisan, saya yakin iti adalah makam suaminya dimana telah meninggal 3 tahun yang lalu. Saya duduk dan ikut berdoa untuk suami ibu itu. Beberapa saat kemudian, ibu itu berdiri seraya mengajak saya untuk menemani beliau pulng menuju rumahnya yang kebetulan tidak jauh dari komplek pemakaman itu. Bisa di tempuh dengan berjalan kaki saja, sebab jika harus naik kendaraan, malah lebih lama karena sangat ramainya manusia yang berkunjung ke makam hari ini. Kami pun berjalan sambil bercerita banyak. Ternyata ibu itu adalah seorang mualaf, yang baru 1 tahun memeluk agama Islam. Sementara sang suami telah lama memeluk agama Islam.

Sepanjang perjalanan Ibu itu bercerita tentang masa lalunya.

" Beliau berkata bahwa sewaktu beliau dulu baru beralih keyakinan, belaiu merasa telah menemukan sesuatu namun belum merasa sempurna. Setiap kali mengikuti majelis taklim, beliau di sambut sebagai yang mulia dan pertanda dari kewarasan dan cahaya yang menerangi hatinya. Namun hatinya masih saja bingung dan bimbang seperti ada sesuatu yang masih kurang pas. Hingga suatu ketika ia bertemu seorang guru spiritual yang bisa memberi arti akan kehidupan yang sesungguhnya. Waktu sang guru memberinya sebuah bingkisan yang isinya adalah sebuah mukena kotor dan secarik kertas yang bertuliskan “Cucilah mukena ini segera “. Beliau pun mencucinya, dan alangkah jijiknya beliau melihat air bekas cucian mukena tersebut yang sangat kotor dan berbau. Beliau kemudian mencucinya lagi sampai berulang-ulang hingga sangat bersih hasilnya, bahkan air bekas cuciannya pun terlihat bersih. Ibu itu bertanya-tanya dalam hati “ Sang Guru sepertinya hendak ngerjain saya nich, masa mukena kotor di berikan ke saya !” seraya menjemur mukena tersebut.

Tak lama sesudah kejadian itu, Ibu pergi lagi menemui sang Guru sembari hendak menanyakan kenapa saya di beri bingkisan itu.. Ternyata jawaban sang Ustad adalah : Mukena yang yang kotor itu ibaratnya adalah hati manusia, oleh karenanya hati itu harus di cuci berulang-ulang kali agar bersih. Sebab dengan hati yang bersih, maka manusia itu baru pantas untuk menghadap Sang Pencipta Allah SWT. Mukena itu menunjukan Hati saya saat baru bertemu beliau dulu , dimana masih di liputi rasa bingung, dan ragu akan keputusanku untuk memeluk Islam saat itu.. Mendengar penjelasan sang Ustad, saat itu Ibu menangis berlinang meneteskan air mata sembari terus mengucap “Astaghfirullahal’azhim….”.

Tak terasa kita sudah sampai di rumah Ibu itu, saya pun di persilahkan untuk masuk ke rumahnya. Rumahnya tampak sangat bersih dan Asri sekali. Rumahnya cukup besar, dan yang luar biasanya beliau sendiri lah yang menata dan merawat rumah itu . Dan yang pasti beliau merupakan orang yang sangat berada, terlihat dari peralatan rumah yang beliau punya.

Di rumah itu saya pun di jamu dengan ketupat dan opor ayam plus rendang. Kami pun makan bertiga dengan cucunya. Sembari makan saya bertanya:

“ Ini semua ibu bikin sendiri ?”, tanyaku. “

"Ya iya dong, kan Cuma saya dengan cucu saya di rumah ini, dan saya tidak pernah punya pembantu !”’, jawab ibu itu sambil tersenyum.

“ Emangnya Orang tuanya si Faisal kemana, bu ?”, Tanya ku balik penasaran.

“O, si Faisal ini sejak bayi di tinggalin orang tuanya. Ibunya menjadi TKW di Hongkong dan tidak pulang-pulang hingga saat ini, Sementara ayahnya yang juga anak ibu sudah lama meninggal karena kecelakaan pesawat, sewaktu si Faisal baru berumur 1 tahun.!”, kata si ibu sembari mengambil tambahan ketupat untukku.

Mendengar cerita Ibu, hati kecil saya berbisik “ Waw…Ibu ini sangat luar biasa tabahnya”.

Selagi asyiknya menikmati hidangan sang Ibu sambil melamun, tiba-tiba sang Ibu bertanya kepadaku :

“ Ngomong-ngomong koq nak Melvin sendirian tadi ke makamnya, dimana keluarganya “?

“Hmm, ibu, Istri dan anak-anak saya lagi mudik ke Bukittinggi, sementara saya masih ada sedikit kerjaaan di Bandung yang harus di selesaikan karena deadlinenya awal bulan ini..hehehe ngejar setoran sich bu“!, jawabku sembari membasuh tangan. “

“Ooo..!, nanti ajak yach keluargamu ke sini, kalau mereka udah di Bandung lagi.!”, kata Ibu sambil membereskan hidangan di meja makan.

“Insya Allah, saya akan ajak mereka ke sini”, jawab ku.

Beberapa selang kemudian, saya berencana untuk pamit pulang. Dan sebelum pulang ibu itu berpesan kepada saya:

“ Jaga Ibumu, Istri dan anak-anakmu, karena keluarga itu adalah harta yang tak ternilai harganya. Jangan pernah engkau sia-sia kan mereka, engkau pasti akan merasa sangat kehilangan sewaktu mereka sudah tidak bersamamu lagi kelak. Lihat Faisal, dia hanya merasa punya saya saja, sebab dia tidak pernah merasa memiliki orang tua yang lengkap seperti anak-anakmu…Tapi Faisal masih cukup beruntung karena masih ada saya. Coba nak Melvin bayangkan anak-anak di Palestina sana. Mereka harus berlebaran tanpa orang tua bahkan sanak saudara. Tidak ada baju baru, ketupat lebaran, opor ayam bahkan tidak ada ketenangan di sana. Ingat ya Mel, syukuri yang kamu punyai sekarang !”, nasihat ibu itu sembari memelukku.

“Aduh..bu..bu, jadi sedih dech aku !!, Sudah pasti donk, Bu, aku akan ingat selalu pesan ibu. Aku pamityach, terima kasih semuanya…!! Assalamu’alikum “, kata ku sembari mencium tangannya dan berlalu.

Sepanjang perjalanan pulang, di kepala ku ini masih terngiang selalu nasehat sang ibu itu kepadaku. “Emang bener sich kata si Ibu itu, Keluarga adalah harta yang tak ternilai harganya dan belajar lah untuk bersyukur ”, bisikku dalam hati seraya memacu kendaraanku untuk pulang.

Bandung, 28 Juli 2014, 09:00 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline